Tidak ada yang menyangkal bahwa setiap pribadi manusia mengalami semacam pertumbuhan. Di tengah kondisi apa pun, bahkan jika manusia dipandang hanya sebagai spesies, manusia akan melakukan pertumbuhan. Tentu saja pertumbuhan sebagai spesies, mungkin sekadar untuk bertahan hidup, melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Manusia tidak semata-mata sebagai salah satu spesies penghuni bumi sebagaimana monyet, gajah dan kura-kura. Manusia adalah makhluk yang komplek.
Setiap diri manusia, mensimulasi dirinya untuk mencari fadhilah dari Allah, yang kita percayai sebagai pendesain tubuh fungsional kita, peniup ruh kita, serta peletak dasar mentalitas kita. Sejak kecil, orang tua kita berusaha mencari tahu modal apa yang diberikan Allah kepada kita, dan kemudian memberikan ruang tumbuh dengan suplai pelatihan, sekolah, interaksi bermain dan sebagainya. Setiap diri kita, mencari tahu nature (modal fadhilah dari Allah) kita, serta sejauh mungkin nyemplung ke arena nurture (lingkungan dan daya dukung sekitar) yang mengupayakan optimalnya proses bertumbuhnya diri kita. Nature memberi batas ruang tumbuh kita, nurture memberikan arah sampai sejauh mana kita bertumbuh.
Bagaimana ketika simulasi atas pencarian fadhilah dari Allah dirasa belum ketemu? Dan lingkungan sepertinya tidak mendukung untuk bertumbuh. Tidak ada jalan lain selain berkata: “Mbuh piye carane, tetap bertumbuh.” Mungkin Allah tidak menuntut untuk berhasil, tetapi akan tersenyum dengan usaha-usaha dan perjuangan yang terus dilakukan. Tentu saja, perjalanan pencapaian dari orang-orang sebelum kita menjadi contoh dan referensi. Tidak ada orang yang berhasil tanpa mengalami pengalaman panjang, lika-liku dan jatuh bangun.
Sebagai kelompok, kita juga tidak boleh menutup mata atas gejala perkembangan dunia, yang tentu akan memberikan efek kepada kita. Masyarakat dunia juga bertumbuh, dan arah pertumbuhan global ditentukan oleh siapa pemain utama, dan nilai utama apa yang sedang digerakkan. Sebagai umat Islam, kita memanggul tugas besar sebagai umat terbaik,
“Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma’rụfi wa tan-hauna ‘anil-mungkari wa tu`minụna billāh,” kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Seperti diri pribadi yang mbuh piye carane, tetep bertumbuh. Sebagai komunitas, umat, kita pun tetap berusaha melakukan kontribusi atas arah jalannya perkembangan masyarakat. Bagaimana pun, tetap bertumbuh. Di saat masyarakat gelap, tentu kita berpuasa, kita menahan diri untuk tidak mengikuti gelapnya masyarakat. Jika kita belum bisa menjadi “damar panuluh”, maka setidaknya kita tidak menambah kegelapan.
Tidak perlu khawatir bahwa saat kita tidak ikut-ikutan gelap, kita dianggap orang asing, orang aneh. Mbah Nun memberikan garis bahwa “bada’al Islamu ghariban, wasaya’udu ghariban,” Islam dimulai dari terasing demi keterasingannya yang baru di setiap era sejarah. Namun kata Rasulullah, berbahagialah orang yang terasing, karena ia yang memiliki pengambilan jarak yang memungkinkan ia lebih jernih dan lebih sejati dalam menilai sesuatu.
Bukan berarti kita, waton bedo, bukan! Tetapi sebagai diri pribadi maupun komunitas harus punya keotentikan nilai yang dipegang teguh yang tidak bisa ditawar, salah satunya adalah memperjuangkan hal yang ma’ruf dan tidak melakukan kemungkaran serta iman kepada Allah. Pokoke dadi wong apik! Titik!.
Di tahun yang kedelapan ini, Semak terus melingkar bersama, menciptakan ruang bertumbuh, baik sebagai diri pribadi manusia maupun sebagai komunitas. Semoga kita mampu berlari jika saatnya diminta berlari, dan mampu berpuasa saat kondisi mengharuskan untuk berpuasa. (EAF-Red)