Mukadimah Semak’an edisi ke 84 (16 November 2024)
Jarum jam di dinding menunjukkan angka pukul sebelas malam, Pak Kukap yang baru saja merebahkan diri di atas ranjang mendadak menghentikan niatnya memejamkan mata, secepat kilat disambarnya jaket kain di balik pintu kamar dengan tergesa. Rupanya pria paruh baya ini dikagetkan suara parau Pak Kaji Parwata melalui pengeras suara langgar yang memecah keheningan malam Dukuh Rongkab. Sebuah kabar duka tersiar, Pak Sedeh pemilik warung kelontong dekat pertigaan batas desa dikabarkan meninggal dunia pukul sepuluh malam dan akan dimakamkan malam ini juga oleh keluarganya.
Rumah Pak Sedeh mulai tampak ramai warga, tanpa dikomando mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan, memasang tratak, menyiapkan kain kafan, keranda, dan seterusnya. Sudah umum begitu kalau ada orang yang meninggal dunia. Katanya beberapa tetangga masih melihat almarhum sore tadi mengantar pesanan galon air dengan motor bututnya sebelum dibawa ke rumah sakit karena sesak nafas. Sesampai di pemakaman, di bawah temaram sinar rembulan Pak Kukap mengenali sosok Kang Rahawu sedang menyambung kabel untuk memperbanyak lampu penerangan, Lik Mirah, Wak Turayun dan beberapa lain sudah lebih dulu silih berganti menggali sepetak tanah kuburan yang dipenuhi pohon-pohon besar.
Ada orang-orang dengan sumberdaya besar berbuat sesuatu yang berdampak besar lantas kemudian banyak orang menyebutnya pahlawan. Adakalanya kita terkagum-kagum kepada mereka namun seringkali lupa menyadari orang-orang yang berjasa di sekitar kita. Sejatinya keduanya sama-sama pahlawan dalam kaliber masing-masing. Pak Kukap si bakul siomay, Lik Mirah si buruh bangunan, Wak Turayun tukang jaga malam, Kang Rahawu bakul sayur kelilingan, mereka yang dalam pandangan masyarakat modern acapkali disebut dengan istilah “wong cilik”, gambaran nyata rasio gini yang lebar, yang jauh dari previlage atas akses dan fasilitas, yang ndilalah tidak bernasab “balungan gedhe” yang seringkali mempermudah nasib anak cucu buyut tujuh turunan.
Pahlawan menjadi pahlawan karena berbuat sesuatu dengan skala dan kapasitas masing-masing atau bahkan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk. Meskipun seringkali bagi satu pihak sosok pahlawan begitu dielu-elukan sebaliknya bagi pihak lain dianggap musuh yang pantas mendapat sapatha atau kejelekan. Namun yang pasti, pahlawan tidak untuk disematkan bagi siapapun yang mengkapitalisasi sumberdaya di sekitarnya supaya menjadi orang besar. (Tim Redaksi)