Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-35 (11 Juli 2020)
Merdeka dari bahasa Sanskerta yaitu mahardhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat, kemudian bertransisi kata dalam bahasa Melayu dan Indonesia yang bermakna bebas atau tidak bergantung pada apapun.
Pada dasarnya kita semua adalah manusia yang merdeka tanpa proklamasi. Karena merdeka bukanlah pilihan, melainkan suatu ketetapan dan kepastian yang melekat kuat pada setiap diri manusia. Semua yang bernyawa pasti membawa fitrah kemerdekaan walau terlahir dari rahim seorang budak yang terjajah. Merdeka juga bukan hanya sebuah kata dan semboyan yang harus diucapkan dengan lantang. Karena seorang yang terlahir bisu pun mempunyai kemerdekaan yang hakiki dalam dirinya meskipun tak mampu lantang terucap.
Kemerdekaan fisik, hati dan fikiran adalah hak dari setiap mahluk terutama manusia, tidak hanya dalam rumah tangga dan bermasyarakat namun juga dalam idiologi ke-Tuhan-an. Hanya saja semuanya ada tatanan, tuntunan dan aturan yang telah disepakati oleh orang-orang terdahulu sebelum kita. Jangankan aturan dalam bernegara, bermasyarakat atau dalam aturan ruang lingkup kecil keluarga. Bahkan kemerdekaan diri terhadap satu sama lain pun masih memiliki batasan, karena kita hidup saling berkaitan satu sama lain.
Jika semua kemerdekaan tidak lepas dari tatanan, tuntunan dan aturan, maka yang sebenar-benarnya merdeka dalam diri kita adalah idiologi kita yaitu antara diri pribadi dengan Tuhan. Karena untuk mencapai kedekatan seorang hamba dengan Tuhan tidak harus melalui perantara siapa dan apa, dan seberapa dekat diri kita masing-masing dengan Tuhan adalah pondasi berkembangnya sebuah kaum, daerah dan negara. Sebab sebaik-baiknya sebuah kaum, daerah atau negara adalah berasal dari pribadi masyarakatnya.
Salah satu berkembangnya sebuah kaum, daerah atau negara adalah karena apiknya pengelolaan peraturan, tatanan dan tuntunan masyarakat yang disepakati bersama-sama, tentu saja kesepakatan itu harus kita hargai dan kita patuhi. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh buya kita Syaikh Kamba,
“Keberhasilan umat Madinah membangun peradaban, yang menjadi percontohan bagi segenap umat manusia, bukan hanya karena mereka rajin beribadah mahdlah, melainkan karena, dengan ritual-ritualnya itu mereka mampu menjadi pribadi-pribadi berintegritas, yang kemudian kepribadian tersebut ditransformasikan ke dalam kehidupan sosial dan membentuk kemandirian ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan keamanan”.
New Normal tentu bukanlah alasan agar kita tetap mampu memelihara silaturahmi dan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan, sebuah tradisi peninggalan adi luhung leluhur kita yang tentu sudah mendarah daging dalam diri kita. Karena musyawarah adalah jubah demokrasi, meskipun setiap pribadi memiliki hak kebebasan.
Allah Swt telah memberikan kepada kita fitrah kemerdekaan yang hakiki untuk memilih jalan hidup masing-masing. Memilih jalan kebaikan, atau menempuh jalan keburukan adalah pilihan pribadi setiap insan. Itulah suatu fitrah yang telah diberikan oleh Allah Swt pada setiap manusia. Sebagaimana firmannya:
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syam: 7 – 10).
Bahkan Allah Swt memberikan kita hak untuk memilih kemerdekaan tidak hanya dalam diri sendiri, tapi juga dalam bermasyarakat. Dalam Alqur’an Allah Swt tegaskan :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar Rad: 11).
Lantas mengapa kemerdekaan diri dalam beridiologi sangat penting dalam bermasyarakat? Bagaimanakah beragama yang baik?
“Keberagamaan” yang banyak sekali “perintilannya” malah menjadi hijab antara manusia dengan Tuhan. (Syaikh Kamba dalam Mencintai Allah secara Merdeka).
Beragama itu cukup pakai hati saja. Pakai cinta. Atau, setidaknya jangan berhenti hingga sampai di hati dan penuh cinta. Kurang dari cinta, Agama itu bukan Agama. (Syaikh Kamba dan Sujiwo tejo dalam Tuhan Maha Asyik 2).
Kutipan kalimat dari kedua buku di atas tentu sangat membantu dalam menjelaskan bagaimana kemerdekaan seorang hamba dalam beridiologi ke-Tuhan-an. Lantas seberapa merdekakah kita dalam ber-Tuhan?
***
Tema SEMAK Tadabburan kali ini adalah Tresno Mardiko. Live via kanal youtube Maiyah Kudus. Jangan lupa subscribe, share dan like. Kita sinau bareng, melingkar dalam virtual yang baru pada 11 Juli 2020. (AR/Redaksi Semak).