Liputan salah satu acara pengganti Semak Tadabburan edisi ke-33
Hanya takut kepada Allah dan tetap waspada dengan keadaan –dunia, termasuk Indonesia sedang digegerkan oleh Coronavirus– itu tidak lantas menjadikan nilai kehambaan setiap manusia kepada Allah berbelok dan bengkok. Kewaspadaan adalah titik tengah antara sikap panik dan apatis. Keadaan yang sekarang terjadi, penulis tidak tahu –apakah Allah membiarkannya, mengizinkannya, atau malah memerintahkannya; terserah pandangan anda.
Ketika tulisan ini dibuat, angka kematian atas keterjangkitan Coronavirus di dunia sudah mencapai 106.138 dan kasus terkonfirmasi berjumlah 1.699.595. Di Indonesia sendiri, sudah ada 4.241 kasus positif, 359 pasien sembuh, dan 373 pasien meninggal. Tentu, kita turut prihatin.
Sayangnya, masyarakat Indonesia dinilai masih belum cukup waspada. Misalnya, dengan berpergian tanpa masker dan tidak disiplin mencuci tangan, baik dengan air atau sanitasi. Itu bisa jadi, lantaran tuntutan penghidupan yang kebutuhannya lebih utama –ekonomi.
Pada 11 April 2020 di 8 titik yang berpancer pada Menara Kudus, Sedulur Maiyah Kudus (SEMAK) melakukan kegiatan sedekah kewaspadaan dengan berbagi masker dan handsanitazer kepada pekerja di jalan dan masyarakat umum. Ini adalah wujud dari kepedulian pada sesama. Sekaligus dengan mengingat leluhur, dalam khazanah Jawa ada ikhtiar tolak balak, yang menolak dari 8 arah mata angin, dari segala arah; dengan tetap memosisikan Allah sebagai penentu segalanya.
Kegiatan ini disiapkan selama kurang lebih 2 (dua) Minggu. Mulai dari mencari masker dan handsanitazer yang harganya “manusiawi” sampai pengemasan, dan pendistribusian. Ada 250 paket yang dibagikan, yang mendapatkannya –tentu– senang dan bergembira. Ada banyak cerita dan tanggapan.
Seperti supir angkot yang mengeluh, karena sejak wabah merebak pemasukan mereka menjadi turun, sepi penumpang. Curhatan bapak yang kebutuhan hidup keluarganya dipenuhi dengan menambal ban. Atau, seorang tukang becak yang ketika diberi mengira sedang ditawari untuk membeli, sehingga awalnya takut dan menolak.
Salah satu yang penulis alami adalah kecenderungan masyarakat yang meminta lebih dari 1 (satu) paket sedekah untuk suami, kemudian anak, lalu menantu, terakhirnya cucu atau bahkan tetangganya. Jangan-jangan kecenderungan ini berawal dari tidak amannya suasana hidup sehingga ketika ada peluang untuk melindungi keluarga dan orang-orang tercinta dimanfaatkan oleh manusia dengan sebaik-baiknya, mungkin tanpa berpikir bahwa di luar sana orang-orang punya kecenderungan yang sama.
Sebagaimana Maiyah yang mengutamakan kemaslahatan bersama dan mendasari laku hidupnya dengan cinta, sedekah kewaspadaan adalah cara mencintai masyarakat kecil yang tidak mampu dan atau tidak mau membeli sendiri masker dan handsanitazer karena segala tuntutan hidup yang belum juga penuh tercukupi. (Tiyo Ardianto)