Liputan “Andum Tresna” Majelis Masyarakat Maiyah Semak Tadabburan, 14 September 2019
Semak Tadabburan edisi 14 September 2019 berjalan sebagaimana wajarnya, para penggiat (sukarelawan yang berkomitmen) mempersiapkan segala perlengkapan acara, mulai dari gelar kloso, menyeduh kopi, menyiapkan konsumsi, menambah penerangan, menata sound system dan perlengkapan-perlengkapan lainnya.
Hanya saja, malam itu sepertinya Allah ingin memberikan bonus kegembiraan untuk sedulur maiyah kudus, dengan hadirnya beberapa ‘orang tua’ yakni Pak Subkhan (Polres Kudus), Pak Bambang (Budayawan Kudus), dan Pak Nurhadi (Presiden fiktif tronjal-tronjol) selain tentu saja Gus Syafiq yang sudah istiqomah membersamai Semak Tadabburan. Bahkan tidak saja kehadiran beberapa orang tua sekaligus, grup karawitan kontemporer Gubug Seni asuhan Kang Kisut diboyong ke Museum Kretek untuk ‘Andum Tresno’.
Tidak kurang-kurangnya Sedulur Maiyah Kudus diberi kejutan kebahagiaan, dua minggu sebelum acara Semak Tadabburan, tiga kali Mbah Nun dan Kiai Kanjeng hadir di Kota Kretek, tentu saja menjadi ajang menumpahkan kangen bagi jamaah Maiyah pada khususnya dan masyarakat Kudus pada umumnya.
Acara sinau bareng diawali dengan munajat, dzikir dan shalawat dipimpin oleh Kang Lukman, kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan penuh khidmat. Gerbang ilmu telah dibuka, para perindu kemesraan ilmu pun perlahan merapati barisan, mengisi ruang-ruang cahaya cinta-Nya, mereka terpanggil oleh frekuensi yang sama, lingkaran ruang rindu kebersamaan.
Kang Ali membuka diskusi dengan menyapa sambil guyon yang lucu tapi intelek. Tidak biasanya Kang Ali melucu, mungkin beliau telah terkontaminasi oleh Kang Aan ‘Damar Panuluh’ (Aan Trianto). Memang Kang Ali dan Kang Aan serta Kang Huda, sudah sejak dua hari sebelum Semak Tadabburan runtang-runtung bersama menemani sedulur Poci Maiyah di Tegal.
“Asline, bengi iki jatahe ngeloni bojo, sebab wis rong dino tak tinggal Maiyahan, tapi untuk andum tresno dengan panjenengan semua, bojo bisa saya skip” Kang Ali memberi semangat kepada jamaah.
“Saya tidak henti-hentinya mengingatkan bahwa Maiyahan menyediakan tiga menu paket hemat, yakni spritualitas, intelektualitas dan kegembiran. Maka agar ritmenya seimbang kita persilahkan Gubug Seni untuk berbagi kegembiraan” Kang Ali memberikan kesempatan kepada Dalang Bayu dan kawan-kawan untuk “nabuh gamelan”.
Sholawat Asnawiyah dilantunkan dengan apik diiringi alunan gamelan lirih, perlahan-lahan memenuhi sudut hati para jamaah yang rindu Rosululloh. Harmonisasi tetabuhan dan lantunan sholawat terlahir menyejukan suasana malam.
“Orang-orang maiyah itu sekumpulan manusia yang sudah pasti bersama-sama saling mencintai di dalam cintanya Allah, mau hadir dalam acara sinau bareng dengan membawa bekal sendiri, saling mengusahakan agar majelis berjalan lancar. Saya yakin kalian semua, pemuda-pemudi, poro sepuh yang hadir di acara ini dicinta Allah. Dan inilah sebenarnya yang disebut andum tresno”. Pak Nurhadi memulai sinau bareng dengan sambutan yang membakar semangat kita yang ada di sana untuk bisa hadir di acara pertemuan berikutnya. Entah pertemuan berikutnya kita bisa hadir karena telah disemangati oleh pak nurhadi atau memang hati kami lah yang terpanggil tanpa dipanggil untuk melingkar bersama.
Beda halnya dengan Pak Subkhan, beliau memulai pembicaraan dengan memusatkan makna andum tresno pada konteks orang tua dan anak. Pada jaman milenial seperti saat ini banyak fenomena-fenomena zaman. Kadang jika cinta tidak terkoordinir letaknya pada koordinat yang tepat, maka akan lahir fanatisme yang telanjang dan tak berjubah hingga melahirkan kekonyolan-kekonyolan baru. Seperti contohnya seorang remaja yang tidak tersuplai dengan baik rasa cinta dari orang tuanya, tega mengancam akan membunuh orang tuanya jika tidak dipenuhi keinginannya untuk membeli sebuah handphone.
Pak Bambang sepertinya paham betul dengan ketegangan yang sedang dirasakan sedulur yang hadir, maka pak bambang pun meminta Dalang Bayu selaku komando dari Gubung Seni untuk mengiringi beliau menyanyikan Kidung Kebo Giro. Pak Bambang mejelaskan, berhubung temanya Andum Tresno maka beliau pun menyanyikannya karena makna yang terkandung dalam lirik tersebut sungguh sangat dalam dan bermanfaat untuk kita pahami dan maknai.
Terpancing dengan penjelasan dari kebo giro yang diwedar Pak Bambang, Yai Syafiq pun menukil tema Andum Tresno dengan status jamaah yang hadir. Karena pada acara sinau bareng yang hadir adalah mayoritas manusia yang gersang akan cinta -kalau istilah Gus Sabrang “tuna asmara”-, maka Yai Syafiq pun tertarik memupuk sudut pandang cinta lawan jenis pada jamaah malam itu. Beliau membuat kita berfikir apakah kita mencintai seseorang karena benar-benar Allah yang mengantarkan cinta itu untuk kita atau karena nafsu kita. Kiai gondrong itu pun mengajak kita kembali berfikir untuk bisa membedakan antara cinta dan keinginan. Beliau hanya memberi sedikit garis merah bahwa cinta itu untuk makhluk sementara keinginan untuk benda. Benda boleh kau inginkan tetapi tidak untuk kau cintai, sementara mahkluk tidak hanya boleh tapi juga harus kau cintai tanpa kau inginkan. Menikah dan cinta-lah pada seseorang tidak harus karena sesuatu.
Waktu telah lewat tengah malam, goro-goro dimulai. Kang Kisut tampil menghibur jamaah dengan kelucuan-kelucuannya yang sering ‘nakal’. Keceriaan kami pun kembali, setelah dijejali ilmu dari semua pemateri yang hadir membersamai.
Akhirnya kalimat terakhir ditutup oleh Pak Nurhadi, “Andum tresno iku contone koyok lampu, dia tidak hanya menerangi satu titik benda, tapi dia menerangi semua yang ada di sekitarnya”. Dari sekian banyak pembicaraan yang membahas tentang Andum Tresno, percikan kata-kata presiden tronjal-tronjol tersebut seketika membangkitkan ingatanku pada sosok Mbah Nun. Menurut saya, beliau salah satu sosok yang tersalurkan langsung dari biasan Nur Rasulullah Muhammad SAW. Karena bagi saya, Mbah Nun itu salah satu manusia yang telah menemukan cahaya dan menyatu cahaya itu, sehingga otomatis menjadi bagian dari cahaya yang menerangi sekitarnya. Mungkin, itulah alasanya mengapa masyarakat maiyah selalu candu untuk selalu ingin hadir di acara sinau bareng Mbah Nun. Karena semua yang hadir di acara tersebut telah tersingkronisasi dan menemukan titik cahaya untuk menutupi ruang rindunya masing-masing. Sebab pada dasarnya semua makhluk berasal dari satu cahaya dan akan kembali menuju cahaya di mana ia diciptakan, dan cahaya itu berada di dalam hati. (Agusman Riyadhi)