Kitab Martabak part 3
Dalban berusaha tidak bertanya kepada Kang Kuri, siapa itu Yai Tohrun. Lain halnya dengan Bryan, dia sedikit menggerutu, mengapa harus ke Yai Tohrun kalau Kang Kuri sendiri sebenarnya bisa menjelaskan password Taqi Taqi Tuqo Tuqo.
“Bri.. Mungkin maksud Kang Kuri, agar kita memahami dari berbagai sudut pandang, setidaknya kita bisa mencari tahu apa itu Taqi Taqi Tuqo Tuqo versi Yai Tohrun. Atau bisa jadi Kang Kuri sengaja mengirim kita ke Yai Tohrun sebagai pembawa pesan takdzim Kang Kuri.” Dalban memberi penjelasan.
”Ayolah, Bri… Jangan cengeng begitu. Aku jadi ingat pelajaran dari Kang Kuri tentang protokol ilmu.” Tambahnya.
Sontak, mendengar ada kalimat keren dari Dalban, Bryan langsung memotong, “Sik sik, Bu Kaji telpon,”. Bryan menolak panggilan Bu Kaji juragan sandal, partner bisnisnya. Bryan lebih tertarik meminta penjelasan tentang istilah protokol ilmu yang barusan dia dengar dari Dalban. “Opo kuwi protokol ilmu?”
“Jadi gini, dulu Kang Kuri pernah berpesan kepadaku perihal jalan seorang yang sedang mencari ilmu. supaya bisa mendapatkan ilmu dengan baik, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh murid.” Dalban memulai menjelaskan.
“Apa saja itu?”
“Sebentar toh,” Dalban mencoba membuat Bryan tenang. “Yang pertama protokol percaya, saat kita berguru atau bertanya kepada orang yang kita anggap lebih tahu dari kita, kita harus percaya, ndak boleh misalnya kita merasa guru kita orang yang tidak cakap. Kita harus yakin bahwa orang yang kita serap ilmunya memang orang yang otoritatif di bidangnya.”
Bryan manggut-manggut namun belum menanggapi dengan ucapan, ia serius mendengarkan penjelasan Dalban.
“Lalu yang kedua protokol gembira, menurut Kang Kuri hal ini penting, sebab katanya otak kita lebih cepat menangkap pengetahuan, bahkan lebih awet nantinya jika saat kita berproses sinau, dilakukan dengan kegembiraan. Satu contoh misalnya, mengapa anak-anak TK cepat nangkep dan ingat terus lagu ‘Satu ditambah Satu sama dengan Dua’ ? Jawabannya karena mereka melakukannya dengan gembira.”
Bryan masih manggut manggut, “Masuk Akal! Lalu apa yang ketiga?”
Dalban melanjutkan, “Nah yang ketiga ini mungkin sedikit tidak masuk akal bagimu. Namanya protokol prihatin. Anak-anak sekarang tidak paham protokol yang satu ini, bagaimana bisa sikap prihatin menjadi pintu untuk mendapatkan ilmu? Sebab mereka adalah generasi instan. Bryan! Kamu pasti pernah dengar cerita Kanjeng Sunan Kalijaga saat diminta topo oleh Sunan Bonang? Kamu juga mendengar istilah ilmu laduni? Kira-kira yang seperti itulah protokol prihatin. Katakanlah satu kejadian, di mana ada satu santri yang berkhidmat ngangsu sumur untuk guru dan santri lain, sampai sampai tidak pernah ngaji. Eh, ndilalah santri itu yang diberi berkah, bisa menguasai kitab yang diajarkan dengan cepat dan awet. Apa kamu terima protokol yang ketiga ini Bri? Tidak masuk akal kah?”
“Bisa jadi kita sedang menjalani protokol ketiga, kita diminta Kang Kuri bersusah payah menemui Yai Tohrun. Bagaimana menurutmu, Bri?” Dalban menambahkan.
Bryan tidak menjawab, bersamaan penjelasan ketiga dari Dalban, mereka sudah sampai di pelataran rumah Yai Tohrun.
“Wuihh, ramai sekali, Dalban.” Kata Bryan.
“Ya, sehari-hari seperti ini katanya.” Jawab Dalban.
Bryan membayangkan di tempat Yai Tohrun ada semacam pengajian. Ternyata dugaan Bryan salah, setiap tamu dipersilahkan masuk satu persatu sesuai kebutuhan dan permasalahan yang ingin ditanyakan atau dimintai solusi.
Terihat beberapa tamu keluar dari bilik Yai Tohrun, ada yang diberi air putih, ada yang diberi buku, ada yang diberi secarik kertas, ada bocah yang diberi rubiks, ada yang katanya malah dikampleng.
Kaget setengah mati Dalban dan Bryan setelah berhadap-hadapan dengan Yai Tohrun. Sosok Yai Tohrun ternyata ‘abnormal’, Dia tidak bisa melihat, duduk di kursi roda, tubuhnya lunglai, mulutnya komat-kamit melafalkan kata-kata yang entah artinya apa. Beliau didampingi santrinya, berbisik ke Yai Tohrun menjelaskan maksud kedatangan para tamu.
“Wonten perlu nopo?” Santri Yai Tohrun bertanya kepada Dalban dan Bryan.
Mereka saling bertatapan, tidak ada yang mengeluarkan kalimat. Entah apa yang ada di benak mereka. Dengan terbata-bata Dalban memberanikan diri, berkata: “Kami diutus Kang Kuri ke sini, titip salam beliau kagem panjenengan, Yai.”
Dalban seperti digerakkan, dia mencium tangan Yai Tohrun, penghormatan yang lazim diberikan seorang murid kepada guru.
Melihat hal tersebut, Bryan mengikuti apa yang dilakukan Dalban. Kemudian keduanya mundur tanpa kata-kata. Bryan yang ingat tujuan ke Yai Tohrun adalah menanyakan tentang apa maksud taqi taqi tuqo tuqo, berbalik ke arah Yai Tohrun. Belum sampai ke pintu bilik, Yai Tohrun berteriak, “Wudhu!”
Setengah mati Bryan mendengar suara lantang Yai Tohrun. Buru-buru Bryan mengambil wudhu pada sebuah pancuran air di sisi kiri bilik. Saat hendak masuk ke pintu, “Wudhu maneh!” Bentak Yai Tohrun.
Santri Yai Tohrun memberi kode kepada Bryan agar menuruti saja, Bryan segera mengambil wudhu lagi. Kemudian setelah selesai, beranjaklah Bryan menuju tempat duduk Yai Tohrun. Untuk ketiga kalinya, Yai Tohrun meminta Bryan untuk wudhu, kali ini tidak dengan nada tinggi, melainkan dengan melambaikan tangan memberi aba-aba dengan gerakan wudhu.
Akhirnya Bryan berhadapan langsung dengan Yai Tohrun, setelah tiga kali wudhu. Dengan terbata-bata Bryan bertanya, “Nopo maksudipun taqi taqi tuqo tuqo, Yai?”
Yai Tohrun tidak menjawab, dia seperti acuh dengan kalimat Bryan. Dalban yang sedari tadi di luar bilik bergabung dengan rasa dag dig dug menunggu jawaban Yai Tohrun.
Bryan diminta Yai Tohrun mendekat, kemudian Yai Tohrun mengusap-usap dada Bryan seperti gerakan membersihkan sambil berkata,
“Suci dalam niat, suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, suci dalam tindakan”.
Demikianlah peristiwa yang dialami Bryan dan Dalban ketika sowan Yai Tohrun. Seorang yang direkomendasikan oleh Kang Kuri. Membawa bekal pertanyaan, berharap mendapatkan jawaban, justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan dalam.