Sebuah kedai kopi murah meriah yang biasa digunakan para pekerja pasar melepas lelah tengah hari, Sanip mendapati Dullah mengikatkan seekor kambing pada pohon nangka di depan kedai.
“Mau dijual ya, Dul?” Sanip melempar tanya.
Dullah menjawab, “Mau ke Kaji Amrul, Nip.”
“Mau ngundang Pak Kaji buat mimpin doa selametan?”
“Bukaaan, mau sedekah kambing sama Pak Kaji.” Balas Dul. “Kopi, Kang! Gula sedikit wae, ya!” Komandonya pada si pemilik kedai.
Sanip mengerutkan kening, agak heran sama si Dullah ini. Bulan lalu dua ekor ayam jago yang ia berikan pada Pak Kaji Amrul. Lha wong Pak Kaji Amrul itu sudah punya sawah yang sangat luas, kok. Anaknya saja sudah jadi orang semua (sukses;red).
“Mbok ya kambingmu sedekahkan ke aku. Aku ini yatim piatu lho, Dul!” Celetuk Sanip.
“Gundhul kowe, akil baligh-mu saja sudah dua puluh tahun yang lalu, yatim piatu kematengen kuwi jenenge.” Tukas si Dullah, tak lama kemudian kopi pesanan mendarat di meja. “Hmmmmm, Nikmaaat.”
“Sak iki ngene… Motif apa yang mendasari kamu bertubi-tubi sedekah sama Pak Kaji? Sawahe luas lho, Dul! Anak nomer satu jadi polisi, anak kedua jadi staf di kabupaten, anak ketiga dapat menantu pemilik showroom motor, opo arep nyedhak anak bungsu sing isih kuliah? Lha istrimu piye?”
“Ngawur kamu, Nip! Meskipun poligami dibolehkan agama, tapi aku ini lelaki yang meneladani sahabat Ali bin Abi tholib yang tidak bisa menduakan Fatimah.”
“Yo waras berarti kowe, soale anak Pak Kaji belum tentu mau sama kamu.”
“Terus motifmu apa?” Sanip kembali menggali ingin tahu-nya.
“Niatku Cuma sedekah ikhlas lillahi ta’ala, Nip. Ndak pamrih apa-apa. Bisa jadi sedekahku ini bisa nolak balak, menambah berkahnya rizqiku, Alhamdulillah ternak-ternak punyaku sehat, cepat berkembang biaknya.”
“Yakin alasanmu itu saja?” Cerca Sanip.
“Nek kata Kyai di Madrasahku dulu, ada ayat yang aku ingat sampai sekarang. Kalau ndak salah surat Al-Imran ayat 92 bunyinya gini; kamu tidak akan sampai pada kesempurnaan sampai kamu menginfakkan harta yang kamu cintai. Nah, karena imanku juga aku mensedekahkan apa yang ku punya pada Pak Kaji.” Jelas Si Dullah.
Si Sanip sejenak menyeruput kopi yang sudah lebih dulu dipesannya. Wajahnya mulai menampakkan keseriusan.
“Aku masih sangsi dengan motifmu, Dul. Yang namanya ikhlas kata kyai sing tak rungokke ning radio….” Posisi duduk Sanip tambah merapat pada Dullah, kali ini bahu mereka saling bersinggungan. Tambah seriuslah wajah Sanip sembari berucap, “Kata pak kyai di radio itu, Ikhlas Ibarat semut hitam berjalan di atas batu yang berwarna hitam pula, berjalannya semut itu di malam hari, dalam keadaan gelap pula.”
Dullah nampak diam sesaat, ia seruput kopi lagi dan lagi. Wajah Dullah juga mulai nampak serius seperti kawannya.
“Sebentar… Aku mbayangke kok ndak kelihatan banget ya, kita lihat semut berjalan dalam kondisi seperti itu.”
“Lha makanya… Sulit mengatakan sedekahmu itu ikhlas, Dul. Pasti ada pamrih dibalik sedekahmu.”
“Lillahi ta’ala saya ikhlas, Nip. Pak Kaji Amrul itu kyai kharismatik menurut saya. Bukan saya saja kok yang sering bertandang dengan segenggam harta pada beliau. Niatnya ya tadi. Lillahi ta’ala.”
“Kalau menurutku tetap lillah-mu berpamrih, ikhlasmu ada udang di balik bakwan, Dul.”
“Kamu itu ndak tahu yang namanya ‘berkah’ ya, Nip? Dengan kita ngajeni para Kyai, mengangkat derajat para kyai, maka apa yang kita lakukan, apa yang kita miliki, harta kita, rejeki kita, insya Allah berkah, Gusti Pengeran bakal mberkahi semuanya, Nip.”
“Nah…Ya tho? Iku letak pamrihmu, Lillah-mu tetap berpamrih harapan adanya sebuah ‘berkah’, apa kamu itu bisa menilai bahwa ‘berkah’ benar-benar akan kamu dapati dengan menjadikan Pak Kaji Amrul sebagai obyek penerima sedekahmu? Apakah kamu juga bisa mengatakan jika mengalihkan pada orang lain sebagai obyek sedekahmu maka akan hilang ’berkah’ itu? Sekali lagi maaf…. Tanpa mengabai para kyai, karena menurutku kyai memang harus dijunjung derajatnya. Lain cerita jika Pak Kaji Amrul itu bukan kyai yang dalam taraf ekonomi sangat cukup. Yen podho-podho sedekah, kenapa tidak kamu sedekahkan kambingmu sama yang jelas-jelas membutuhkan. Maksudku banyak tetanggamu lain yang lebih membutuhkan, lho. Coba lihat Kang Jasrun dengan tanggungan enam anak masih kecil-kecil, pekerjaan jadi tukang sol sepatu keliling dengan sepeda onthel-nya. Atau lihat Mbah Ijan dengan gubuk reyotnya, anaknya merantau juga ndak pernah kirim uang dan kasih kabar. Coba kamu bayangkan betapa senangnya jika kambingmu itu kamu sedekahkan pada salah satu di antara mereka… Kegembiraan atau ekspresi bahagia si penerima sedekahmu mungkin yang akan mengukur berkahnya nilai sedekah itu. Meskipun….” Sanip menghentikan bicaranya.
“Meskipun apa, Nip?”
“Meskipun bisa jadi penilaianku ini salah.”
Dullah kembali menggaruk-garuk kepalanya. “Kopimu lho cepat diminum. Keburu dingin.” Tukas Sanip yang kemudian menyeruput kopi di depannya hingga seruputan di endapan cangkir.