Beberapa hari lalu ponselku tertinggal di rumah kakak seniorku. Karena terbentur jarak, aku sengaja tidak mengambilnya. Akhirnya harus kurelakan tidak berkomunikasi dengan rekan sejawat untuk beberapa saat, hampir 4 hari lamanya.
Kemarin, Sabtu malam (14 juli 2018), aku dan seniorku itu bertemu dalam forum Semak (Sedulur Maiyah Kudus) di Museum Kretek yang rutin dilakukan setiap bulan, dan beliau membawa ponselku yang tertinggal itu. Ada cerita menarik dari beliau sehingga aku membuat catatan ini.
Beliau bercerita, sewaktu ponselku tertinggal di rumahnya, anak beliau melontarkan pernyataan unik dan menggelitik.
“Pah, temen papah aneh, masa hp-nya ketinggalan beberapa hari gak diambil-ambil?”
Pernyataannya membuatku tertawa. Bagiku pernyataan si anak membuatku melihat ketelanjanganku dalam berpakaian logika. Bagaimana tidak? jika keanehan dinilai dari rutinitas yang seharusnya biasa saja menjadi hal luar biasa.
Seniorku menjelaskan padaku bahwa anaknya mungkin terlalu sering melihat rutinitas orang yang tak bisa jauh dari handphone. Beliau mencontohkan dirinya yang terkadang langsung buru-buru balik kalau miliknya tertinggal. Sementara aku terlalu cuek dengan milikku, sehingga membuat si anak keheranan.
Keanehan yang seharusnya tidak aneh. Apa karena modernisasi akhirnya membungkus hal wajar menjadi sesuatu keanehan? Yang aneh modernisasinya atau kita? Sehingga akhirnya kita memaksakan diri untuk jadi anak adopsi dari budaya yang bukan lahir dari ibu pertiwi. Kita berbangga diri dengan jas budaya impor dan mengalihkan pandangan dari mana berasal.
Ternyata selama ini aku tertidur dalam sadarku, tolong sadarkan aku dalam kesadaranku. (Agusman Riyadhi)