Reportase Semak’an edisi ke-61, Milad-6 SEDULUR MAIYAH KUDUS 2023
Pukul 15.30 wib selepas berjama’ah ashar di Masjid Mbah Mutamakkin, Kajen, Pati, saya sempatkan membuka handphone. Chat di grup whatsapp begitu ramai koordinasi penggiat membahas segala sesuatu demi lancarnya kegiatan malam hari nanti. Ya, Milad ke 6 tahun Sedulur Maiyah Kudus (8/4/2023) akan digelar selepas isya dan tarawih bertempat di Museum Kretek, Kudus.
Di luar masjid terlihat hujan masih membasahi bumi. Hujan adalah rahmat. Begitu juga terang, tentu juga rahmat. Kita bersyukur atas rahmat Tuhan dengan tidak berani mengeluh akan hujan, namun juga tidak mengapa untuk berdo’a semoga Tuhan memberi pilihan rahmat pada malam ini berupa terang.
Menjelang magrib, setibanya di Museum Kretek, mendung terlihat masih membayangi Kota Kudus. Hawa dingin terasa menyelusup sela jaket. Penggiat terlihat sudah selesai menyiapkan penerangaan, menggelar dan membersihkan alas, set up panggung yang sederhana namun estetik, Kang Nur standby dengan sound sistem, bahkan beragam cemilan dan makanan sudah tersedia di hadapan para penggiat yang bersenda gurau melepas lelah pasca persiapan. Buka puasa bersama penggiat memang menjadi agenda pertama mengawali Semak’an.
“Upawasa” sebuah kata sansekerta. Bermakna ritual untuk “masuk” ke Yang Ilahi. Di Jawa dipakai istilah lokal, pasa, kemudian berkembang menjadi puasa. Pasa berati kekangan, mengekang, menahan sesuatu dari. Begitulah asal kata puasa pernah saya dengar. Dengan pendekatan akulturasi budaya dan tradisi menjadi bukti kearifan wali – wali terdahulu merengkuh hati masyarakat nusantara. Termasuk penggunakan bahasa yang lebih dulu dikenal masyarakat untuk memudahkan memahami islam. Alih – alih langsung berbahasa Arab dimana saat itu masih asing. Terdengar azan magrib berkumandang, teman – teman dari Gambang Syafa’at dan Kalijagan juga terlihat telah bergabung menikmati hidangan berbuka puasa bersama. Mereka turut untuk nyengkuyung saudara simpul maiyah di Kudus bersyukur malam ini.
Memasuki Pukul 20.30 wib beberapa penggiat mengimami munajat diiringi rebana diikuti jama’ah. Mendung yang sore tadi menggelayut di langit seakan menyingkir untuk memberi jalan bintang dan bulan menerangi bumi Kudus dengan cahaya. Selepas munajat selesai, Mas Aan Triyanto mengambil peran sebagai moderator dan mempersilahkan sodara Brian wh membaca tulisan mukadimah sebagai pengantar diskusi Semak’an. Lebih lengkap tentang mukadimah, reportase dan catatan lain bisa diakses di maiyahkudus.com.
Singkat merespon mukadimah, Mas Aan dengan penampilan rambut gondrong ini menguraikan bahwa salah satu indikator suatu konsep mendekati kebenaran sejati adalah semakin lama rentang waktu suatu konsep yang terus relevan dengan realitas dari jaman ke jaman. Selanjutnya, Kang Ali Fatkhan turut bergabung dalam forum menemani sebagai moderator, Ia menceritakan kekagumannya kepada maiyah dengan analogi “cache” pada perangkat komputer. Contohnya kata Kang Ali, ”Kalau anda sering membuka salah satu produk pada salah satu market place maka dengan mekanisme yang disebut algoritma, iklan produk tersebut akan terus muncul ketika anda online. Bisa jadi, seperti itu pula, pencarian, pikiran dan simpanan memori yang sering diakses pada alam bawah sadar jama’ahlah yang mendorong kehadiran pada malam ini.”
Bertahap jama’ah hadir silih berganti melingkar. Semak’an berada tepat di pintu masuk Kantor Museum Kretek. Dengan beralas terpal yang sudah disiapkan penggiat, kopi dan jajan pasar di piring anyaman, terlihat beberapa perempuan duduk di sebelah timur, di area tengah dan barat berjejer jama’ah maiyah dari Kudus sendiri, juga dari teman – teman dari Kalijagan dan Gambang Syafa’at.
Melengkapi kepingan ilmu malam ini, Gus Syafiq tidak bosan – bosan mengingatkan jama’ah keutamaan munajat dengan merefleksikan sejarah hidup perjalanan Mbah Nun dan Kiai Kanjeng dalam mencintai sholawat. Selanjutnya mewanti-wanti jama’ah untuk sanggup mengambil satu saja ilmu yang bisa diistiqomahi dalam perilaku sehari-hari setidaknya sampai pertemuan selanjutnya. Karena menurut Gus Syafiq, terkadang teori – teori yang ada di dalam pikiran akan dimentahkan oleh kondisi dan situasi. Sedangkan kebenaran itu seperti cermin yang pecah, setiap orang perlu memungutnya satu – persatu pada suatu peristiwa, menggabungkan dan mengistiqomahi dimana kemudian akan mendapat pantulan yang mendekati kebenaran. Memungkasi sesi ini, Gus Syafiq mengungkapkan dengan kalimat romantis, “Jika keindahan ini tidak bisa mampu diungkapkan dengan kata, maka aku simpan keindahan ini dalam hati saja.”
Hawa dingin sudah tidak begitu terasa karena kehangatan ilmu dan guyonan oleh moderator di sela – sela diskusi telah menyelimuti dan menghangatkan jama’ah. Memasuki pukul 22.30 wib, dilakukan seremonial potong tumpeng sebagai simbol Sedulur Maiyah Kudus memasuki tahun keenam. Potongan nasi tumpeng oleh Habib Anis Sholeh Ba’asyin diserahkan kepada Mas Iwan Pranoto selaku koordinator Sedulur Maiyah Kudus. Terlihat Pak Dr. Abdul Jalil juga telah berada di antara jama’ah.
Keunikan dalam maiyahan, dalam satu rentang kegiatan dapat meramu spiritualitas, intelektualitas dengan kegembiraan. Pada sesi kegembiraan pertama, sodara Yusuf mengisi peran dengan penampilan epik, wajah dicat layaknya Joker, membawa panji hitam bersimbol anarki dan tampil berdiri menggunakan properti peti kayu kemas sebagai tumpuan kaki kanan. Membacakan puisi karya Kiai H. Mustofa Bisri berjudul “Negeri Haha hihi”. Dengan suara yang menghentak keras dilanjutkan mendendangkan puisi lagu karya solidaritas punk bunga hitam berjudul “Maju dan Terus Bersinar”. Jama’ah terlihat tersedot perhatiannya oleh penampilan sodara Yusuf yang tidak mainstream jika dilakukan dalam suatu kajian agama. Ya, beginilah maiyahan, masing – masing penampil maupun jama’ah menyadari batas – batas pengendalian diri dalam berekspresi tanpa melanggar moral, etika maupun hukum negara.
Tepat memasuki pukul 23.000 wib, Habib Anis Soleh Ba’asyin memulai narasi dengan merespon penampilan sodara Yusuf sebelumnya. “Arti anarki tidak sama dengan chaos, anarki adalah sikap menyingkirkan semua konsep – konsep yang ada, kemudian menerapkan konsep sesuai apa yang diyakini.” Beliau selanjutnya mencoba memantik jama’ah dengan merespon tulisan dalam mukadimah dengan teori bahwa interpretasi yang beragam dipengaruhi oleh kondisi sosial. Perubahannya terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Untuk itu, “Pembiasaan – pembiasaan dalam tindakan menjadikan terbiasa melakukan kebenaran.” Berulang kali Bib Anis menyampaikan.
“Indikator pencapaian spiritual atau ruhaniah tertinggi seseorang salah satunya tampak dari dampak atau pengaruh yang ditimbulkan terhadap tatanan sosial.” Ungkap Bib Anis yang berpenampilan serba putih ini. Mengurai lebih dalam, kebaikan layaknya biji yang buah atau hasilnya terjadi sesuai kehendak Allah SWT baik kapan maupun bagaimana prosesnya. Oleh karenanya jangan pernah berputus asa dari rahmat Tuhan. Namun juga bisa sebaliknya, perbuatan jahat seseorang yang diamini banyak orang berpotensi menurunkan azab dari Tuhan secara komunal. Dan yang terpenting, jagalah diri masing – masing dan keluarga dari “Naar”. Yaitu menurut Bib Anis, seperti perilaku api yang bersifat rendah, makanya bergejolak dan membara bergerak ke atas. Berbeda dengan perilaku air, meskipun hakikatnya bersal dari ketinggian namun selalu bergerak ke arah yang lebih rendah menuju tanah atau membumi.
Beliau lantas bercerita peristiwa Ashabul Kahfi yang oleh Allah ditidurkan selama 300 tahun. Berita kebenaran yang mereka sebarkan dengan sudah payah kepada suatu kaum hanya membuahkan pengikut seekor anjing. Namun 300 tahun berselang, masyarakat telah menerima kebenaran seperti harapan mereka justru manakala para Ashabul Kahfi dilelapkan dalam tidur panjang. Artinya, semua berada mutlak kehendak Allah SWT.
Kesempatan berikutnya dengan tempo bicara lebih lambat, Pak Jalil, sapaan pendek beliau, memulai pembicaraan dengan merespon tumpeng yang masih berada di panggung. “Ingkung itu artinya nJungkung, artinya simbol menundukkan tubuh sebagai simbol menundukkan hawa nafsu. Kemudian merespon tema, enam bagi Pak Jalil, biasanya identik dengan sulit diatur dan semau – mau sendiri seperti simbol angka enam dalam penyebutan bahasa Jawa. “Angka enam ke atas sampai sepuluh itu tidak bisa dibahasa kromokan, coba sebut saja ênêm, pitu, wolu, gak ada bahasa Jawa alusnya kan?”
Tentang spiritualitas yang sebelumya disampaikan Bib Anis, menurut Pak Jalil, selama ini yang terjadi terdapat dua mahzab. Pertama, mahzab yang puncak spiritualitasnya adalah wahdatil wujud atau manunggaling kawula Gusti dalam khazanah Jawa. Atau kedua, mahzab yang spiritualitasnya memuncak hingga “langit” namun kemudian turun kembali “membumi” atau menjadi “manusia biasa” yang mampu mempengaruhi tatanan masyarakat tadi. Kemudian Pak Jalil menceritakan tentang Kanjeng Nabi, “Beliau itu kan pangkalnya spiritualitas, meskipun begitu, namun ya pernah mengalami disantet. Dan masuk santetnya, inilah hubungan turunnya Surat Al Falaq”.
Meskipun begitu, dalam proses perubahan tatanan yang baru dalam masyarakat, selalu ada sunatullah yaitu pembusukan. Jama’ah maiyah lantas diminta Pak Jalil untuk melihat apakah hari ini yang terjadi merupakan pembusukan atau bukan. Kemudian pria yang berikat kepala khas kudusan ini mempertegas dengan pertanyaan, “Lantas menurut kalian disini, jika hari ini yang terjadi adalah pembusukan apakah kalian telah mempersiapkan diri menjadi manusia – manusia baru yang berbeda dari sebelumnya, atau modifikasi dari yang lama, atau bagaimana?” Sebuah pertanyaan besar dan mendasar diajukan oleh beliau kepada Sedulur Maiyah Kudus. (Brian wh)