Reportase singkat Semak Tadabburan edisi Maret 2021
Kedaulatan Hati
Adakah manusia yang paling layak berbicara tentang tema ini?
Sepertinya tidak ada, sebab setiap manusia memiliki hati dan pengalaman kedaulatannya. Dan jelas, setiap pengalaman itu perlu diolah, dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan sehingga lahir kesadaran yang mewujud sebagai perilaku.
Entah. Secara sadar atau tidak. Tapi para jamaah Sedulur Maiyah Kudus, malam itu (13/03) telah bersepakat bahwa setiap manusia layak berbicara -bahwa yang ia bicarakan masih mengandung kekurangan, itu soal lain.
Berangkat dari kesepakatan ‘ruhaniah’ itu, setiap jamaah jadi merdeka berbicara: misalnya, Mas Komeng, ia mencoba memaknai tema dengan melihat kata: daulat dan hati. Pada kata ‘hati’, ia merasa sudah mengerti, bahwa hubungannya pada perasaan dan emosional manusia. Tapi kata ‘daulat’, ia merasa cukup kesulitan memaknai, sampai ia ingat helai rambut di kepalanya: dawul-dawul!
Ingatan itu mengantarkannya pada memori masa lalu, ketika rambut ‘dawul-dawulnya’ itu dimarahi oleh ayahnya. Masa muda, ketika ia ingin mengekspresikan eksistensinya melalui rambut. Tapi merasa tak berdaulat karena dilarang.
Kemudian Mas Lukman merespon bahwa kedaulatan memang sebuah kebebasan untuk melakukan sesuatu, tetapi tetap dalam batasan tertentu.
Dalam bahasa lain, Mas Iwan berpendapat, bahwa kedaulatan itu menunjukkan kondisi terpenuhinya hak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan, tetap dengan tidak melanggar norma: secara personal ia disebut HAM, secara agama disebut syariat, dsb.
Kanjeng Nabi pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang hal yang baik, lantas yang Kanjeng Nabi katakan adalah istafti qalbik, mintalah fatwa kepada hatimu. Kisah ini diceritakan oleh Mas Aan. Tapi kemudian ia bertanya kepada jamaah: apakah fatwa dari hati itu selalu baik dan benar?
Kang Ali juga bertanya: apakah hati bisa dijadikan dasar landasan untuk pertimbangan berbuat kebaikan dan juga berbuat yang tidak baik? -pertanyaan ini seperti anak panah yang melesat.
Ada wacana menarik, tentang lapisan hati yang Mas Iwan sampaikan: hati manusia terdiri dari (1) Shudur – lapisan terluar, kerak, yang mudah dipengaruhi oleh nafsu, (2) Qalb – letak welas asih dan rasa kemanusiaan, (3) Fuad – ruang rasa ihsan dan kemungkinan makrifat terhadap Tuhan, (4) Lub – adalah letak cahaya ilahi, mungkin lapisan terdalam inilah yang disebut hati (nur)ani.
Wacana berikutnya tentang akal yang terbagi dalam beberapa fase; ketika (1) akal hanya pembeda manusia dan binatang, (2) akal yang mengantar anak-anak menuju masa tamziz atau baligh, (3) akal yang mampu menerima pengetahuan, ilmu dan pengalaman, logika mulai terasah, (4) akal yang sudah matang dalam melakukan pertimbangan ketika memutuskan tindakan.
Wacana ini disambut Mas Tiyo dengan pendapat bahwa kedaulatan hati perlu dibarengi dengan kedaulatan akal, hasil akhirnya adalah kedaulatan diri, kalau diperbesar skalanya, akan menghasilkan kedaulatan sosial masyarakat yang tangguh menghadapi zaman.
Gus Mafik yang sedari itu diam, akhirnya berbicara: merespon perlahan dialektika malam itu dengan gaya khas seorang santri.
“Manusia yang hatinya berdaulat adalah yang memiliki prinsip hidup” kata beliau, sebab melalui prinsip itu manusia jadi tak punya alasan untuk tak berdaulat. Prinsip itu akan membentuk ruang kedaulatan; di mana informasi apa saja akan diolah untuk diterima atau ditolak menjadi bagian dari kecenderungan hidupnya.
Prinsip, dalam hal ini, bukanlah satu komposisi keangkuhan yang berpusat pada ego. Prinsip adalah kebenaran bagi diri yang segera akan bertransformasi menjadi kebaikan. Ia tercipta dari keseimbangan hati dan akal, dari pertimbangan emosional dan intelektual. [TA]