Reportase Semak Tadabburan edisi ke-33 (09 Mei 2020)
Peradaban baru menjadi pembuka di 3 tahun Maiyah Kudus. Pandemi Corona menjadikan kemungkinan-kemungkinan. Salah satu kemungkinan adalah munculnya kebiasaan baru bahkan mungkin peradaban baru. Mas Aan trianto mengawali diskusi sedulur maiyah kudus bertema Coronaisance pada 9 Mei 2020 di Maqha Ngembalrejo Bae Kudus. Sebelumnya maiyah diawali dengan munjatan dipimpin Mas Ulul dan beberapa jamaah maiyah lainnya.
Malam itu maiyahan dilakukan secara virtual. Melalui akun youtube Maiyah Kudus, mereka bertegur sapa. Di sebelah Mas Aan ada juga Mas Ali dan Mas Iwan. Mas Iwan menceritakan pengalaman selama sebulan terkahir saat menemani putranya belajar di rumah. Proses belajar akan berubah dalam beberapa waktu ke depan. Ada kemungkinan muncul peradaban baru dalam dunia pendidikan. Para guru dan siswa diminta optimal menggunakan media belajar internet. “Mungkin akan bermunculan kelas-kelas online di beberapa tahun kemudian” Ujar Iwan Pranoto yang juga koordinator Sedulur Maiyah Kudus.
Membicarakan pandemi corona, malam itu Mas Faruq juga hadir. Beliau mengulas tentang ketidakkonsisten pemerintah menghadapi pandemi corona ini. Mas Faruq adalah salah satu anggota Tim Gugus Depan di Kabupaten Kudus. Ia menambahkan bahwa ketidakkonsistennya pemerintah malah membuat masyarakat menjadi takut dalam menghadapi virus ini.
Ia berpesan bahwa tingkat kesembuhan akibat virus corona cukup tinggi. Jadi, semestinya masyarakat tidak perlu resah dan takut. Ketakutan-ketakutan seharusnya tak terjadi di tengah peradaban yang serba maju ini. Keresahan masyarakat terjadi di masa minggu-minggu awal pandemi. Minggu-minggu berikutnya masyarakat lebih khawatir lagi akan mata pencaharian hidup yang tiba-tiba hilang. Dengan baju santainya, Mas Faruq juga mengingatkan bahwa kesembuhan datang dari diri sendiri sebesar 80 % dan sisanya adalah obat.
Gus Syafiq mencoba mengingatkan kita perihal kebaikan orang Jawa tempo dulu. Dengan nada optimis Gus Syafiq menceritakan bahwa orang-orang jawa sudah lebih dulu mempraktikan kebersihan dalam segala hal. Gus syafiq sudah hampir tiga tahun menemani teman-teman pegiat maiyah Kudus ini. Rambut gondrong dan nada suara yang tiba-tiba meninggi menjadi salah satu kekhasan beliau.
Malam itu meski maiyahan dilakukan secara virtual. Pengunjung di youtube cukup aktif saling menyapa jamaah satu sama lain. Justru dengan cara virtual ini jangkauan antar jamaah terasa cukup luas. Bahkan ada yang mengaku dari luar jawa menyaksikan Sedulur Maiyah Kudus yang malam itu juga memperingati 3 tahun proses bermaiyah.
Manusia memang butuh keseimbangan. Pandemi corona ini membuat manusia mencari keseimbangan baru. Baston dan teman-teman mencoba mengisi suasana malam itu dengan nyanyian berjudul keseimbangan yang dipopulerkan Wakijo, pegiat maiyah di Gambang Syafaat Semarang. Dengan suara khasnya, Baston selalu memberikan warna tersendiri di setiap bulan. Dengan lagu lainnya dari Superman Is Dead, malam itu sepertinya maiyahan terasa dekat meski para jamaah di depan gawai atau laptop.
Malam itu para Sedulur Maiyah Kudus ditemani juga beberapa pegiat jamaah lainnya. Muhajir dari Gambang Syafaat, Fahmi Tegal, Habib Anis Sholeh serta Gus Sabrang (Noe Letto) yang membersamai secara online. Mereka menyapa para jamaah maiyah di Kudus di perayaan 3 tahun ini.
Habib Anis Sholeh Ba’asyin bercerita kisah Nabi Yusuf yang lebih memilih menikmati masa hukuman. Karena masa hukuman malah membuat Nabi Yusuf lebih bisa berinteraksi dengan Allah dan memperbanyak ibadah. Nabi Yusuf khawatir jika kembali lagi ke kehidupan normal akan menjadi berkurang ibadahnya. Saat ini di masa manusia dibatasi bepergian atau keluar rumah justru bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan komunikasi kita dengan Sang Pencipta Alam. Habib Anis juga mengatakan bertepatan dengan bulan puasa ini seharusnya manusia mengerti bahwa sejatinya puasa itu tidak tahu kapan harus berbuka.
Lalu Gus Sabrang dari kediamannya mengajak para Jamaah mengingat terjemahan ayat di surat ar-Rad bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”. Keadaan ini memungkinkan kita belajar mengintrospeksi diri. Kita seharusnya bisa memperbaiki diri untuk ke arah lebih baik. Jika momentum ini tidak bisa kita jadikan untuk berubah lebih baik, maka kita akan menjadi kaum yang sia-sia saja. Begitu Gus Sabrang mecoba mengajak para jamaah untuk dijadikan peristiwa ini sebagai momentum memperbaiki diri.
Muhajir Arrosyid, pegiat di Simpul Gambang Syafaat menceritakan pengalaman di daerahnya yang sedang ramai-ramai melakukan aksi tutup kampung atau lock down. Mas Hajir menafsirkan bahwa lock down tidak sekadar membatasi orang-orang yang masuk ke daerah agat tak tertular virus corona. Lock down juga bisa dimaknai sebagai upaya desa menjaga keamanan lingkungan karena akhir-akhir ini di situasi sulit aksi pencurian atau tindakan kriminal berpotensi meningkat.
Malam itu sebenarnya banyak yang ikut berinteraksi di maiyah secara online tersebut. Meski di situasi sulit, Para pegiat Maiyah di Sedulur Maiyah Kudus ingin tetap menghadirkan maiyah agar para jamaah selalu menghadirkan maiyah meski di rumah saja. Para pegiat maiyah sebagian besar bercerita tentang aktivitas saat di rumah. Ada yang sedang bercocok tanaman, berkarya melalui video atau bahkan belajar berjualan dan lainnya.
Semoga usai berakhirnya pandemi ini, muncul aktivitas yang lebih baik. Sebuah peradaban yang menimbulkan banyak kebaikan bagi manusia dan lingkungan. [Priyo Wiharto]