Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-34 (13 Juni 2020)
Kanca Sila. Sekilas terdengar seperti Pancasila, di mana setiap silanya menjadi landasan ideologi atau akhlak bangsa Indonesia. Dari sila-sila itu oleh founding father negeri ini dirangkum dalam ekasila, yakni gotong royong.
Penyebutan gotong royong sebagai intisari dari Pancasila itu bukan untuk menegasikan sila-sila yang lain. Namun, semua pelaksanaan sila-sila tersebut memiliki landasan semangat gotong royong hingga membentuk menjadi sikap atas diri.
Negasi dari sifat tersebut adalah sikap egois (selfish), yang lambat laun akan meruntuhkan gotong royong (altruist). Sebab, hal itu adalah ihwal mula dari keserakahan. Sebagaimana bangsa ini kini seolah terjajah oleh kelompok-kelompok serakah yang menyandera segala kebijakan, dari masalah politik, ekonomi, keadilan, bahkan peribadatan, serta berbagai lini lainnya. Malahan selfisme kini seolah menjadi wajah baru dalam media judi, banyak hal dipertaruhkan demi menjaga kelangsungan ‘hegemoni’, sampai-sampai kedaulatan bangsa pun seperti tak berharga lagi.
Begitupun halnya dengan kanca sila. Istilah yang kita diambil dari kata kanca (teman) dan sila atau bersila. Bersila di sini adalah cara duduk yang sedari dulu masyarakat nusantara lakukan, bahkan hingga kini, duduk sendiri bermeditasi dan manembah Gusti, atau jagongan, diskusi, rembug bersama, gotong-royong menyelesaikan segala sesuatu.
Hanya saja duduk berlama-lama jika tanpa tujuan pasti akan membosankan dan tentu merasakan rasa ngilu hingga kesemutan. Beda halnya jika duduk bersila guna meraih sesuatu, seperti mengikuti pengajian, menuntut ilmu, kongko-kongko atau apapun yang menyenangkan seperti berjudi misalnya, tentu akan betah tak mau beranjak. Mungkin ini kebiasaan yang menjadi tradisi masyarakat kita.
Tampaknya bersila memang sulit dihapus oleh masyarakat. Dalam kebudayaan jawa saja, bersila merupakan simbol duduk yang punya makna filosofi. Sila semisal kita ambil dari kata susila, yaitu duduk dengan kaki dilipat kemudian menghadap atasan sambil mendudukkan batin. Selain itu, ada istilah “lenggah” yaitu duduk pada landasan atau sandaran yang disebut “dampar”, hanya saja yang boleh duduk di atas dampar ini hanyalah para raja atau orang yang mempunyai jabatan. Para pejabat biasa sekelas demang contohnya tidak boleh duduk dengan sandaran, karena sandaran untuk menegakkan tulang punggungnya hanyalah pusaka keris yang terselip di belakan tubuh.
Dahulu, sebelum aturan berlaku seperti saat ini, di berbagai masyarakat Indonesia bersila masih sering kita jumpai dalam acara selamatan, ketika para tamu duduk bersila dalam bentuk lingkaran serta makan bersama. Namun saat ini jangankan berkerumun duduk melingkar bersama, bersalaman pun sudah merupakan sebuah ‘momok’ bagi sebagian masyarakat yang paranoid karena doktrin dan peraturan.
Mungkinkah kehangatan dalam interaksi sosial masih menjadi salah satu sebab sulitnya gaya bersila pupus di masyarakat kita, yang tetap mementingkan kehidupan kolektif? Meski kini istilah “New Normal” kian marak bersama dengan segala peraturannya yang seolah ingin menanamkan paham ‘curiga’ satu sama lain. Apakah peraturan sistem baru saat ini mampu mengikis kebiasaan masyarakat kita untuk duduk sila bersama?
***
Semak Tadabburan bulan ini dengan tema “Kanca Sila”, mengajak sedulur semua untuk bersila bareng, untuk sinau dan gotong-royong. Tidak dengan duduk melingkar tetapi daring dalam virtual yang baru. (AR/Redaksi Semak)