Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-20 (9 Maret 2019)
“Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan yang mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Al-Mahfudh). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Yang Maha Pengasuh. Maka apakah kamu anggap remeh Al-Qur`an ini?” (Al-Waqi’ah: 77-81).
Pilihan lafadz pada ayat-ayat AlQuran selalu presisi. Tidak mungkin Tuhan keliru dalam memilih kata. Seperti pada ayat “La yamassuhu illal muthahharun” -Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan- (Al-Waqi’ah: 79), Allah sengaja menggunakan diksi almuthahharun. Kata tersebut pada ilmu tasrif dari kata thuhrun yang artinya suci. Almuthahharun posisinya sebagai isim maf’ul (objek) artinya yang disucikan/tersucikan. Karena bisa jadi, mahluk apapun sejatinya tak ada yang benar-benar suci. Kesucian mahluk pasti jauh di bawah kesucianNya. Seperti halnya iman, hanya Dia lah yang mampu mengukur tingkat kesucian setiap hamba dan ciptaanNya. Sehingga Dia menyebut diriNya Mahasuci yang Mahamensucikan agar ciptaanNya dapat menyentuh ayat-ayatNya.
Namun demikian umumnya Tuhan memberikan hamba agar disucikan/tersucikan olehNya semestinya melalui birokrasi. Si abdun harus berusaha mensucikan diri agar dirahmati. Karena kekasihNya lah yang pantas tersucikan.
Kaitan dengan yamassu, dari kata massa artinya menyentuh. Sehingga aplikasinya bahwa siapapun yang keberadaannya belum bisa bersih atau suci bahkan tersucikan -baik suci berasal dari laku kita dan disucikan karena laku kita- maka tak akan bisa menyentuhnya (baca: memahami Al-Qur`an menggapai, menyatu, manunggal dengan Allah). Artinya ada keterlibatan diri dan Allah. Dengan kata lain, jika seorang hamba dalam segi kehidupannya tidak memanunggalkan Tuhan, tak akan pernah bisa ia menggapai nilai-nilai esensinya.
Pilihan diksi almuthahharun sebagai isim maf’ul (objek) adalah presisi. Karena mesti berarti di dalamnya ada kehendak Allah. Andai misalnya Dia memakai lafadz yang berposisi (atau berpotensi) isim fa’il (subjek) pasti ada pesan dan kesan semacam kekhawatiran bahwa hamba siapapun akan berebut mengaku-aku menganggap dirinya yang menyucikan dan menuduh yang lain tidak suci.
Anehnya manusia sering selalu lupa bahwa kesucian diri adalah rahmat. Mereka mudah terkena penyakit hati, yaitu merasa dirinya bersih, suci dan lebih baik dari yang lain. Dalam ungkapan Jawa, merasa sok semuci atau semuci-suci.
Kasus semuci tidak hanya menjangkiti mereka yang banyak amal atau ibadahnya saja, penyakit ini bisa tumbuh di mana saja. Orang biasanya terlalu optimistis atas keunggulan diri mereka, menganggap lebih bermoral, lebih saleh, lebih baik karakternya, untuk pembenaran dan menghakimi pihak lain. Sehingga tak heran jika kapan dan di mana saja kita sering menjumpai budaya nyinyir atau rasan-rasan.
Pilihan kata almuthahharun sebagai objek kalimat adalah sindiran telak buat kita sebagai mahluk. Di mana nyata-nyata selama ini manusia selalu berebut benar dan menghakimi lainnya. Melupakan bahwa sisi lain adalah cermin atas diri sendiri.
… fala tuzakku anfusakum … -…Janganlah kamu memandang suci atas dirimu…- (An-Najm : 32)
Kata Mbah Ubaid: “Jangankan kita yang hanya seumur jagung hidup di dunia, mengenal agama baru kemarin dan beribadah baru tadi sore. Iblis yang selalu beribadah selama 80.000 tahun saja dilaknat selama-lamanya karena kibir sombong, ujub bangga dengan amalnya dan hasud. Nauzubillah dari semuci dan merasa paling agamis.”
***
Semak Tadabburan edisi ke 20 yang berlangsung 9 Maret 2019 kali ini akan sunau suci. [Redaksi Semak]