Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-19 (9 Februari 2019)
Berjalan di bawah derasnya hujan, bisakah tidak basah kuyup? Saya mungkin sering emosional, mengutuk atau setidaknya menggerutu andai saat akan bepergian tiba-tiba turun hujan. Kondisi yang membuat saya terpaksa membatalkan hal penting karena situasi tersebut. Dan kalau terpaksa, saya harus menerjangnya dengan basah kuyup atau jika perlu mengenakan perangkat-perangkat pelindung hujan, yang besar kemungkinan tak akan sepenuhnya melindungi diri dari basah.
Andai kata misalnya hujan diibaratkan dengan budaya suatu lingkungan “kotor dan tidak beradab”. Situasi di mana budaya jahil merajalela, perampokan dan korupsi berlaku sistemik, kemunafikan menghinggapi hampir di setiap lini. Mungkinkah tidak kuyup dari hujan semacam ini? Apakah harus berlindung di rumah terus-terusan agar tak basah, lalu dicap sok suci? Atau menerjang hujan sehingga basah dengan kejahilan? Berjas-hujan dan basah ‘tipis-tipis’?
Tapi yang namanya hujan adalah kondisi lokal, tidak mungkin mengguyur seluruh daratan. Sederas-derasnya, sela-sela kosong di antaranya masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh guyurannya. Ada lebih banyak pilihan upaya yang bisa dilakukan. Menggunakan pawang salah satu amsalnya.
Seorang pawang bekerja seolah bersahabat dengan hujan. Seperti dalam iklan cat pelapis anti bocor, pawang menggiring hujan-hujan ke sekitar rumahnya gara-gara banyak permintaan di lokasi-lokasi lain untuk menunda guyuran sementara waktu. Dia tahu betul bahwa hujan adalah siklus. Pawang sejati tidak akan (mampu) menghalangi (menghentikan) aliran rahmat. Dia hanya berusaha memindahkan aliran itu, yang pada akhirnya tetap sampai juga.
Kembali kepada hujan adalah kondisi lokal. Kehujanan pasti basah adalah bentuk sunatullah fisik sebab – akibat, seperti halnya terbakar – panas, terpukul – sakit, dsb. Apakah Tuhan ‘selokal’ itu? Padahal Tuhan itu Akbar. Dia menciptakan segalanya, luas dan tak terbatas, mengkarya fisik sekaligus yang tak kasat mata, yang dapat dan tak mampu diindra, dijangkau akal dan juga irasional.
Jika saya menggerutui hujan itu karena pemahamam dan kesadaran terlalu lokal terhadapnya. Sepertinya harus belajar seperti pawang yang bersahabat dengan hujan. Mengenal hujan dengan baik, tentang asal-usulnya, kehendak yang menurunkannya, baik buruknya, sebab dan akibat-akibatnya, serta apa saja yang terkait dengannya. Karena yang namanya kawan sejatinya tidak menggerutu dan mengatur-atur.
Seperti kata Simbah: “Puncak pencapaian diskusi tentang di bawah guyuran hujan biasanya adalah keikhlasan menerima hujan. Kemudian kesadaran baru bahwa hujan punya banyak fungsi. Misalnya menyaring siapa saja yang niat-niat baiknya sedemikian mendasar dan besar sehingga tidak bisa dibatalkan atau dihalangi oleh hujan. Bahwa hujan menjadi cermin bagi ketangguhan atau kerapuhan badan dan mentalnya. Bahwa hujan membuat mereka lebih kuat mentalnya, lebih meningkat daya berpikirnya, lebih sublim rohaninya, serta sangat jelas mengikis kecengengan hatinya.”
Maka, mari belajar menjadi pawang sejati yang berkawan dengan derasnya hujan informasi, kejahilan, kejahiliyahan, dan hujan-hujan lain di sekitar. (ALK/Redaksi Semak)