Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-22 (16 Mei 2019)
Alkisah dahulu di tanah Jawa ada seorang murid yang sangat tawadlu kepada kiai. Suatu ketika sang murid diperintah kiai untuk mengantarkan surat kepada seorang syekh di negeri Yaman. Sang kiai hanya menyampaikan pokoknya jalan saja ke barat dengan membaca “Ya Hayyu Ya Qayyum”, nanti pasti sampai.
Dengan keyakinan penuh atas perintah kiainya itu, berangkatlah sang murid. Sepanjang perjalanan ia melafalkan “Ya kayuku ya kayumu” sesuai yang ia dengar dan kemampuan lidah jawanya. Ajaib bukan main, tak sampai satu malam, sebelum subuh ia sampai di alamat yang dituju, dengan tanpa sadar menyebrang lautan seperti berjalan di tanah datar.
Saya tidak akan bercerita sampai akhir kisah tersebut, karena sebagian dari anda mungkin saja sudah pernah mendengarnya. Saya hanya menggaris bawahi lafal “Hayyu-Qayyum” dengan kata “kayu” di Jawa ternyata memiliki kesepadanan. Hayyu yang bermakna hidup dan Qayyum yang bermakna penghidupan, hampir ekuivalen dengan sifat kayu. Di mana kayu adalah bagian penyangga dari pohon sebagai lambang kehidupan.
Kayu sebagai kehidupan juga tersirat di kisah hikmah Kanjeng Sunan Kalijaga ketika membuat salah satu tiang Masjid Demak menggunakan tatal jati. Konon kala itu, beliau -tidak sengaja- menebas leher seekor orong-orong dengan parang yang digunakan. Sehingga langsung memohon ampun kepada Allah, kemudian menyambung kepala dan badan si hewan dengan serpihan tatal. Akhirnya, mahluk tersebut hidup kembali.
Terlepas bahwa jati adalah kayu yang identik dengan properti Jawa. Pohon ini menambah banyak makna pada kisah “orong-orong”. Misalnya untuk menyatukan akal dan hati dibutuhkan kesejatian serta keteguhan, seperti halnya kekuatan dan ketahanan jati. Sehingga kayu ini digunakan sebagai kosakata khusus untuk menggambarkan keaslian, kemurnian, kesejatian segala sesuatu.
Sebagaimana ilmu padi -semakin tua kian menunduk-, jati semakin tua kayunya tambah berkualias. Ia tumbuh perlahan namun pasti. Mampu bertahan di lahan tandus dengan kemarau panjang. Bahkan, yang tumbuh di tanah lebih gersang akan lebih kokoh dari pada lainnya.
Tidak hanya kegigihan dan kematangan hidup, hampir seluruh bagian dirinya memberi mamfaat bagi yang lain. Bahkan serangga yang hinggap dan memakan daunnya, berprotein tinggi untuk dikonsumsi. Tubuhnya yang besar toleran memberi ruang tumbuh bagi tanaman kecil sekitar, dengan cara setiap separuh tahun bertapa sepanjang umurnya.
Bukan cuma jati yang semedi, si penandur pun berpuasa. Daur jati melampaui usia penanamnya, sehingga tandur jati adalah laku ikhlas dan kesabaran. Ia menanam tanpa berharap menuai (untuk dirinya sendiri). Proyeksinya jauh dan panjang. Keyakinannya hanya “Wal’ashry” dan “khairayyarah-sarrayyarah”.
Laku nandur jati di atas segaris dengan jalan maiyah yang mengamalkan manungsa jati. Bermaiyah sejatinya sabar terus-menerus menanam (kebaikan) dan ikhlas menjalankan perputaran rahmat tanpa mengaharap imbalan.
***
Keturunan orang yang Kami bawa maiyah (bersama) Nuh. Sesungguhnya mereka adalah hamba yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra’: 3)
Pasca banjir Nuh adalah maiyah peradaban baru generasi baru. Apakah maiyah kini mampu menjadi generasi baru? Generasi manusia sejati yang mampu pasrah dan ridlo serta mensyukuri keputusan Tuhannya? Seperti (misalnya) kepasrahan dan keyakinan sang murid kepada kiai pada kisah di atas?
Wallahu a’lam bisshawab. (ALK/Redaksi Semak)