Judul tulisan ini tidak bertujuan mengajak anda berpikir maiyah adalah yang terbaik. Tulisan ini ingin menggambarkan pengalaman penulis dan kawan-kawan datang bermaiyah. Mereka rela jauh-jauh bermaiyah tentu butuh pengorbanan. Tak hanya materi dan tenaga, mereka harus meninggalkan sementara istri bahkan anak-anak untuk beberapa jam. Pulang esok hari berharap mereka bisa mengantarkan anak ke sekolah. Mereka meninggalkan keluarga dengan keadan bahagia. begitu kira-kira.
Maiyah bagi saya adalah tempat berkumpul. Kita berkumpul dengan beragam orang. Ada penjual lampu, pengusaha kebun, penyewa jasa proyektor, penyewa jasa kamera video, pengusaha sablon, tukang pasang cctv, penjaga pom bensin, tukang server di konter, guru, dosen, ASN, mahasiswa, pimpinan organisasi, santri, pemusik, pemilik warteg dan masih banyak lagi kebergamaan profesi orang-orang maiyah.
Keberagaman ini menjadi modal dalam maiyah. Mereka berangkat bermaiyah dengan modal masing-masing. Lalu mereka dipertemukan dalam maiyah dan saling bertukar ide. Ide inilah yang membuat maiyah menjadi kaya. Memandang persolan dari sebanyak-banyaknya sudut pandang adalah yang dipelajari dalam maiyah.
Keunikan inilah yang membuat maiyah sebagai tempat bernaung banyak orang. Mereka tidak merasa canggung berkumpul. Mereka tak segan-segan mengeluarkan pendapat saat berdiskusi. Saling bertukar ide, informasi selalu saja muncul dari setiap pertemuan. Ide yang berbeda diterima, tidak pernah ada diskusi sengit seperti di televisi layaknya pendukung saat pilpres kemarin. Di Maiyah, mereka saling menghormati jika berbeda pendapat. Mereka sama-sama mencari kebenaran. Tak ada kebenaran tunggal.
Sebagian besar alasan mereka bermaiyah adalah karena Mbah Nun. Proses perkenalan mereka dengan Mbah Nun pun beragam. Ada yang datang sendiri ke acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng (CNKK) atau sekedar nonton youtube lalu mencoba datang langsung. Dengan alasan masing-masing, mereka memilih maiyah sebagai pilihan mencari ilmu atau sekadar menghibur diri.
Mbah Nun selalu berpesan kepada anak cucunya, sebutan untuk anak-anak maiyah karena relatif usia yang cukup muda jika dibandingkan dengan Mbah Nun, agar tidak mencintai beliau secara berlebihan. Kecintaan berlebih terhadap Mbah Nun bisa menimbulkan sikap fanatik yang tidak pas. Pernyataan Mbah Nun inilah yang selalu dipegang para jamaah maiyah. Sekarang simpul-simpul maiyah hampir ada di setiap kota. Meski tak dihadiri Mbah Nun, jamaah maiyah selalu ramai di setiap simpul. Tentu saja ini karena cinta, cinta terhadap sesama yang membuat mereka betah berkumpul.
Saya yakin kalian juga punya alasan tersendiri dalam bermaiyah. Priyo Wiharto.