Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-23 (27 Juni 2019)
Salah satu yang bisa diteladani dari pohon Jati adalah ‘bersemedi’. Sepanjang usia, setengahnya ia gunakan untuk ‘bertapa’. Ia berpuasa dengan mengugurkan seluruh daun, menghentikan segala aktifitas pertumbuhan. Lakunya ini membuktikan kegigihan dan kematangan hidup sehingga kualitasnya tak diragukan.
Berpuasa artinya imsak (menahan diri). Puasa adalah laku syukur yang selalu bergandengan dengan sabar. Pelakunya bergembira menerima segala keputusan Tuhannya. Sebab sejatinya jika yang didapati ujian artinya akan naik derajat, jika didapatinya hukuman artinya adzab akhirat berkurang atau bahkan dibatalkan. Sehingga jika pelakunya lulus dengan puasanya maka predikat yang melakat adalah kembali fitri.
Prosesi puasa tersebut sebanding dengan terminologi taubat yang bermakna kembali. Pelaku taubat -khususnya annasuha– juga akan mendapat predikat yang sama karena dihapus dosanya. Sehingga kemudian menjadi titik tolak menuju cahaya kesucian dan kesejatian. Sebagaimana tarekat kaum sufi yang selalu harus melewati momentum-momentum taubat untuk sampai ke tingkat terbuka setiap hijab.
Mekanisme terbuka hijab seperti lompatan pengetahuan, dimana pengetahuan lama tiba-tiba runtuh dan terbangun hidayah pengetahuan baru. Sama hal dengan semedi atau bertapa yang jalannya adalah kontemplasi mengosongkan pikiran. Laku ini bisa jadi dalam rangka untuk melahirkan pengetahuan baru semacam ilham. Seperti halnya mengosongkan gelas untuk diisi air baru yang lebih baik dan atau lebih bersih.
Maka tidak salah jika setelah selesai prosesi puasa ramadlan kita diperintahkan saling bermaafan. Sebab maaf-memaafkan adalah bentuk kecil dari taubat. Tuhan sengaja menggabungkan keduanya agar hambanya sempurna dalam kembali fitrah.
Pertanyaannya: setelah gelas kita kosongi, air macam apa yang akan kita isi? Semak Tadabburan kali ini akan belajar untuk kosong.
Wallahu a’lam bisshawab. (ALK/Redaksi Semak)