Sore yang teduh, saat semua orang pulang dari kelelahan, Pukrul nyambangi Dalban. Pukrul, pemuda dengan kadar ocehan di atas rata-rata ini memang sedang menekuni dunia jurnalistik. Apa saja yang ditemui Pukrul dianalisa, dicari A sampai Z nya, dituangkan jadi semacam laporan ke otaknya. Perkaranya sederhana, Pukrul mendapat semacam ijazah dari Sang Guru dari kalimat “Jadilah manusia simulasi!”. Bagi Pukrul, mengartikan manusia simulasi adalah mencari setidaknya lima pertanyaan dari satu fenomena
“Kang! Kang Dalban, kita harus ngobrol.”
Dalban tidak langsung menjawab, dia merekahkan bibirnya sebentar. “Ngobrol kok harus? ndak mau aku. Syarat ngobrol itu ya karep, mosok ngobrol diharuskan”.
“Halah, ini kan penegasan saja, redaksi saja, bahwa Sampean adalah marja’, rujukan. Sampean sendiri yang mengatakan bahwa orang Alim itu punya tanggung jawab intelektual, siap ditanya.” Pukrul tidak mau kalah menimpali Dalban.
“Yang Alim itu siapa? tidak ada orang Alim, yang ada orang mengetahui bab ini, orang pakar bab ini, betulin dulu itu definisi Alim, jangan kamu anggap almarhum Nurcholis Madjid paham bab membuat martabak, tapi juga jangan kau copot gelar alim nya”. Dalban mempersilakan Pukrul duduk di serambi rumahnya. “Sik, tak gawe kopi sik”.
Pukrul melihat-lihat rumah Dalban, dia ingat Kang Kuri, orang yang pernah ditemui bersama Dalban. Ada lukisan Semar dengan kepala Albert Einstein. Lukisan Kang Kuri dengan sejuta tafsir, dan selalu saja saat Kang Kuri ditanya maksudnya, Kang Kuri hanya berkata, “Tidak penting makna lukisannya, asal bisa menjadi garis start pencarianmu”. Memang, tidak cuma Pukrul yang bertanya-tanya perihal lukisan Kang Kuri tersebut, dan hampir dipastikan setiap tamu Kang Kuri membawa tafsir sendiri-sendiri perihal lukisan Semar berkepala Albert Einstein.
“Opo? Kaget? Yo, iku lukisannya Kang Kuri.” Dalban membawa kopi dan keciput, makanan khas Kudus. “Kang Kuri memberikan itu kepadaku, katanya agar aku bisa angon akal”
“Angon akal?” Pukrul sedikit terkejut. “Oke, nanti kita bahas, tapi aku harus ke misiku dulu, bertanya perihal yang lain”.
Pukrul memulai obrolan dengan kalimat tanya, “Sampean percaya Rasulullah masih eksis?”
Hampir tumpah kopi Dalban, kaget diberi pertanyaan cadas semacam itu. “Aku tidak tahu definisi eksis yang kamu maksud. Aku memahami ayat “…bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya…” juga untuk Rasulullah. Aku merasa, saat aku berdiri melantukan shalawat Tholaal badru Alaina, Beliau hadir. Jika maksudmu eksis adalah hidup dalam pengertian itu, aku percaya, tidak saja percaya, sangat percaya.
Pukrul mengerem pertanyaan lanjutan, sambil menunggu penjelasan Dalban.
“Aku tidak ingin memaksakan kamu percaya, tapi justru aku sinau kepadamu, bukankah kamu yang hafal berderet-deret shalawat. Kamu yang mengajari aku cengkok mahalul qiyam. Kamu yang memberi pintu masuk bahwa satu-satunya jalan agar Rasulullah adalah rosul terakhir maka Beliau harus hidup, dihidupkan sepanjang zaman.”
“Benar juga, dulu sampeyan tidak hafal Tholaal Badru, tidak bisa melantunkan Marhaban Ya Nurol Aini” Pukrul mulai tenang.
“Apa masalahmu? kok tiba-tiba tanya begitu?” Dalban, dengan bijak menepuk punggung temannya itu.
Pukrul menjawab, “Tidak jadi! sekarang Aku tahu jawabannya!”
“Jawaban apa?”
“Setiap aku ngobrol sama orang-orang akademisi, selalu ditanya sumbermu dari mana? Kitab yang kamu baca apa? Tersambung tidak ke Rasulullah? Valid tidak referensi keilmuannya?”
“Lalu, kamu mau menjawab bagaimana?” tanya Dalban.
“Adalah baik untuk mengkroscek referensi ilmu, dengan meruntut sanadnya, ketersambungan riwayat sampai Rasulullah, tapi menjadi tidak baik jika mengklaim bahwa itulah satu-satunya validasi. Jika kita percaya Rasulullah eksis, ada pintu lainnya, yakni ‘Bertemu Rasulullah langsung’.”
“Kamu berani menjawab itu? Kalau kemudian ditanya, bagaimana caranya?” Dalban mencoba mensimulasi.
“Menghidupkan Muhammad” Pukrul dengan percaya diri dan penuh kemantapan mengakhiri obrolan.