Tulisan Lepas Semak Tadabburan #27 “Manungsa Ruhani”
Sabtu, 12 Oktober 2019 di Tom’s Kuliner
Malam itu, dengan suara terang benderang; irama dari lubuk kerinduan; dan puing cinta Tuhan yang berserakan : Sedulur Maiyah Kudus bermunajat. Ijazah wirid akhir zaman yang sehari lalu semerbak wangi, bersama dimekarkan dalam hati.
Ini kali menyelam dalam samudera merah putih : Indonesia Raya dikumandangkan tanpa kepentingan. Dibunyikan tanpa peraga, agar nyaring dan terdengar merdeka.
Indonesia adalah bagian dari diri setiap jamaah maiyah.
Diarak dari jendela jiwa, rumah ruhani, dan kendaraan kepasrahan : Shohibu Baiti berdendang. Itu cahaya menggeliat dan memantul; meledak dan membangun; memberangkatkan mereka -yang Allah mencintainya dan mereka mencintaiNya- ke garda depan peradaban.
Maka akan bermula, Sedulur Maiyah Kudus Tadabburan yang khidmat dan gembira.
/1/
Semak Tadabburan edisi ke-27 ini mengangkat tema Manungsa Ruhani. Diambil dari tetes sang guru : Mbah Nun. Persis ketika Sema’an selalu saja ada dialektika yang dirangkum dalam mukadimahnya.
“Meruhanikan diri saja begitu susah bukan main, lalu bagaimana dengan tugas manusia sebagai khalifah?” (https://www.maiyahkudus.com/2019/manungsa-ruhani/)
Pertanyaan ini, adalah salah satu di antara sekian dialektika dalam mukadimah yang dibacakan Mas Aan Trianto sebagai pembuka diskusi.
Pertanyaan nampak kencang seriusnya, mari segarkan dengan alunan nada karawitan Gubug Seni asuhan Kang Kisut.
/2/
Kang Ali
Menurut Yuval Noah Harari, 14 milyar tahun yang lalu telah terjadi bigbang. Konon, inilah permulaan kehidupan. Muncul berbagai jenis makhluk hidup. Sapiens dipilih menjadi manusia adalah karena gen dan hobi gosip.
Sapiens dapat berbicara panjang lebar, ke mana-mana hanya tentang permen!
Benarkah manusia produk bumi?
Tentu, tidak logis. Lebih-lebih jika kita meyakini bahwa ada jasad, jiwa, dan ruh.
Maka sepertinya, Yuval dan Darwin perlu membahas teori tiupan ruh dalam teori evolusinya.
“Ada penemuan baru, jenis manusia baru yang lebih modern. Ialah Homo Selfiensis : manusia tukang selfie!”
/3/
Syech Jalil
Ternyata kehidupan tidak seperti yang selalu kita bayangkan. Tidak pernah lurus dan lempeng. Selalu saja, ada sesuatu yang tak mampu kita tebak.
Di dunia, apa yang kita siapkan sebagai A akan menjadi B; yang kita pikir D jadi C; melakukan apa jadinya apa.
Pernahkah seorang Presiden hadir dari sekolah sosial politik? Pernahkah orang terkaya itu berasal dari fakultas ekonomi?
Hanya 29% manusia yang bekerja sesuai jurusannya. Inilah sebagian dari Teori Absurditas Namo.
Hal ini menunjukkan, jika pikiran kita berbasis hanya pada human maka tidak akan selesai, tidak akan mampu dijelaskan secara tuntas.
Seperti perasaan hati yang tiba-tiba senang, pastilah susah untuk dijelaskan. Kenapa memilih senang singkong daripada jagung kan tak mungkin dijelaskan, menjadi misteri.
“Cinta itu misteri, mencintai seseorang dan mampu menahan sakit apabila meninggal jomblo. Konon, matinya syahid!”
/4/
Gus Syafiq
Selama ini geger di mana-mana karena fasilitas jasmaninya dan ruhaninya kosong. Manusia bahkan sulit meruhanikan jasmani.
Misal, makan. Makan dengan doa dan tanpa doa tentu berbeda. Makananlah yang kelak akan menjadi darah daging kita. Juga mani, cairan keturunanmu nanti. Apabila makananmu tak pernah didoa, maka hasilnya adalah anak nakal.
Makanan yang tidak berkah, disaripatikan dalam tubuh disemprotkan ke hati, maka akan membuat susah, sedih, gelisah.
Karena semua benda memiliki ruh, maka tugas manusia untuk menjadikannya baik. 2 botol air minum, ditulis kebaikan dan keburukan. Maka air di botol yang ditulis keburukan akan hancur khasiatnya, akan hilang manfaatnya.
Ruh Islam adalah kedamaian, apabila engkau mau melakukannya.
/5/
Pak Nurhadi
Kalau saja Baginda Adam tidak berbuat salah, tidaklah muncul manusia seperti kita. Karena Baginda Adam adalah Bapak jasad, sedang Baginda Muhammad adalah Bapak ruh.
Ketika Allah menciptakan ruh, Ia bertanya “Alastu Birobbikum?” dijawab oleh barisan ruh “Qolu Bala”
Dalam barisan itu, saf pertama adalah para nabi, kemudian auliya’, ulama, sampai kaum munafiqun kafirun. Mereka yang di barisan akhir, mampu menjawab tapi tak paham.
Lalu para nabi diturunkan ke bumi, karena punya kesadaran akan kesaksian di alam ruh.
Karena ruh, sesempit apapun hati manusia. Akan selalu ada potensi kebaikan yang tersimpan.
/6/
Biar pertanyaan tersisa suara lirih
: sebagai alasan Tuhan mempertemukan manusia dalam lingkaran kebersamaan
kembali nanti
esok.
Kudus, 17 Oktober 2019
Tiyo Ardianto