Kata kretek yg acapkali terdengar di telinga kita seakan langsung mengantarkan bayangan sebuah kota kecil di lereng Muria yang memang sudah sejak lama menjadi cikal bakal rokok kretek khas nusantara.
Sudah menjadi hal yang lumrah ihwal kebiasaan merokok di indonesia menjadi semacam ritual penduduk di daerah terpencil mulai dari sulawesi, sumatra, jawa bahkan papua.
Awal mula kretek muncul tatkala seorang Haji Djamhari menderita penyakit sesak nafas yang memang sudah sejak lama di deritanya.
Secara tidak sengaja suatu hari, dia mencoba menggosok gosok dadanya dengan minyak cengkeh ketika kambuh rasa sesak di dadanya. Sejenak kemudian dia merasa nyaman. Karena merasa lebih nyaman lantas dia mengunyah langsung beberapa biji cengkeh kering. Hal ini di lakukannya beberapa kali, Dan ternyata penyakit yang sudah di deritanya sejak lama semakin reda. Akhirnya dia mencoba memotong biji-biji cengkeh kering itu menjadi serbuk kasar, lantas di campur dengan tembakau untuk di hisap sebagai rokok yang memang sudah lama menjadi kebiasaannya.
Pada akhirnya penyakit sesak nafas justru sembuh.
Hal inilah yang akhirnya membuat diamencoba membuat lintingan jenis rokok baru hasil temuannya dalam jumlah yang lebih banyak untuk kemudian di jualnya. Dan ternyata sangat laku keras.
Istilah kata kretek muncul secara alami ketika rokok temuan Haji Djamhari di hisap terdengar suara kretek-kretek dari terbakarnya rajangan tembakau & potongan cengkeh kering.
Dari situlah rokok kretek lahir dan menjadi sebuah heritage bagi indonesia khususnya sebuah kota kecil di lereng Muria yaitu Kudus.
Terlihat begitu ramai di pasar, akhirnya banyak orang yang menekuni dengan memulai usaha baru atau bahkan beralih usaha menjadi pembuat rokok kretek. Dan Niti Semito adalah salah satunya.
Di era bisnis modern pembuatan rokok kretek berkembang dari linting manual hingga mesin-mesin produksi. Linting manual yang melibatkan banyak pekerja masih menjadi sebuah tradisi yang sangat layak untuk di “uri-uri” sebagai kekayaan budaya bagi kota Kudus.
Pada akhirnya linting manual dan mesin otomasi bisa berjalan beriringan demi melestarikan kearifan lokal sebuah negeri kretek.
Kebiasaan menghisap rokok kretek sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat kudus ketika “jagongan” di warung kopi. Bahkan di kalangan santripun rokok kretek acapkali menemani kopi panas di kala acara-acara pengajian berlangsung.
Rokok krektek menjadi sebuah sajian yang mampu menemukan kaum brahmana & sudra dalam frekuensi kesejatian manusia di hadapan sang pencipta.
Dan secara tak sadar pun pabrik2 itu menghisab masyarakat dari berbagai kalangan baik petani peternak pekebun menjadi buruh2 pabrik.
Turun temurun dari generasi ke generasi hingga lahan2 pun ikut terhisab menjadi gudang2 kretek.
Terlena dengan aroma dan rasa kretek yang dipadukan panasnya kopi ditambah bumbu2 canda tawa. Baru sekian puluh bahkan ratusan tahun mulai tersadar lahan telah dihisab investor. (Redaksi Semak)