Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Di pinggir ladang terdengar sayup suara radio dari ponsel Uwak Sobirun diantara gemuruh pabrik dan lalu-lalang bis, truk, serta kendaraan besar lainnya. Sambil kipaskipas caping melepas lelah dan kepulan asap lintingan tembakau jambu, petani bawang itu hanyut lamunan.
Angannya meraba ketika usianya remaja. Kala itu ladangnya hanya sebagian kecil dari hamparan sawah. Tepat di tempatnya duduk bersandar dibawah pohon pepaya, sampingnya ada sungai irigasi mengalir, sumbernya dari sendang di pinggir hutan, jernih airnya. Disitu dulu ia sering berenang selepas membantu emaknya menyirami bawang.
Sawah emaknya kini menjadi ladang, karena air susah didapatkan. Sudah lama sumber air sendang tak lagi mengalir, kalau musim hujan ladangnya malah kebanjiran. Hutan tak lagi ditumbuhi banyak pohon karena ‘blandongan’ juga perluasan lahan dan perumahan. Untuk menyiram tanaman ladangnya ia harus merogoh sakunya dalam-dalam untuk membuat sumur bor berlomba kedalaman dengan sumur-sumur perumahan dan pabrik-pabrik sekitar. Hasil jual sekali panennya pun tak cukup untuk biaya.
Sebagian sawahnya ia serahkan untuk pelebaran jalan propinsi. Uang hasil ganti ruginya ia jadikan kios di pinggir jalan itu dan sekarang ia kontrakkan.
Di sebrang ladangnya, dahulu adalah sawah milik Kaji Solikun, sawah tempatnya bermain layangan ketika musim kemarau bersama kawan-kawannya. Kini sawah itu berdiri pabrik milik orang asing yang ia susah melafalkan namanya.
Ia tahu benar Kaji Sholikun berangkat ke Mekah dengan uang hasil jual tanahnya itu. Lebihnya ia bangun koskosan buat karyawan di samping rumahnya, sisa lainnya lagi dibagikan anak-anaknya buat modal usaha, kecuali yang ragil karena waktu itu masih kecil.
“Ngalamunin apa Wak Sobirun? Serius amat?” tegur Lik Slamet sambil menuntun ontel yang sudah tak berselebor dan hilang catnya. Tampak sempoyongan membawa ‘rambanan’ daun pohon ‘mlandingan’ untuk kambing-kambingnya.
“Eh, lek? Sempoyongan begitu? ambil nafas dulu sini! Nglinting.” tawar Wak Shobirun.
“Siaaap!” jawab Lek Slamet sambil menyandarkan ontelnya di pohon waru.
“Anu lek, lihat pabrik itu aku jadi ingat Kaji Sholikun. Anak ragilnya katanya sekarang kuliah di ibu kota ya lek?
“E, Si Sakof? Sudah dua tahun, ambil jurusan teknik apa gitu. Aku yo jarang lihat, pulangnya setahun sekali, kadang lebaran juga gak pulang.” Jawab Lek Slamet sambil membuat lintingan tembakau besar dengan dua kertas cigaret.
“O ya? ‘krasan’ ya di ibukota?”
“Kata bapaknya, anak ragilnya disuruh kuliah agar bisa kerja di pabrik dengan jabatan enak, biar tidak seperti kakaknya.”
“Lho bukanya anak-anak Kaji Solikun semua sudah dibagi modal buat usaha lek? Kok kerja di pabrik?”
“Memang benar, Si Karyono dulu memang sudah pernah usaha nyetori bawang impor di pasar-pasar, tapi katanya bangkrut, sertifikat rumahnya juga sudah disita bank. Makan apa anak istrinya? Jadi sekarang kerja di pabrik pakai ijasah SMPnya. Karena Kaji Solikun ngomong langsung sama pemilik pabrik, jadi diterima. Tanah tempat berdiri pabrik itu kan bekas sawahnya, masa gak diterima?”
“Ya to? Kok sampai begitu?”
“Yo wis, lanjut nanti malam saja di mushola, aku tak terus. Kambing-kambingku sudah kelaparan ini. ‘Matur nuwun’ lintingane.”
“Sama-sama, aku juga mau lanjut nyemprot lagi”
***
Di Bulan Maret 2018, acara Semak Tadabburan edisi ke-9 ini Sedulur Maiyah Kudus akan diskusi dan sinau bareng dengan tema “Gemah Ripah Loh Begini [?]”. Pengantar diatas sebagai gambaran umum pemantik diskusi. Jamaah bebas menafsirkan dengan persepsi masing-masing. (ALK/Redaksi Semak)