Reportase Semak Tadabburan edisi ke-17 (15 Desember 2018), tema “Sumbang Tandang”.
Mengangkat tema “Sumbang Tandhang“, Semak Tadabburan di penghujung tahun (15/12/2018) bak nostalgia ketika masih anjangsana. Dengan jumlah jamaah hanya belasan kala itu, nyaris seluruh hadirin mengupas tema. Sehingga saat mengawali diskusi, Kang Ali Fatkhan dan Mas Priyo menerangkan rutinan kali ini sengaja tidak hadirkan pemantik luar, dengan maksud menggali partisipasi jamaah dan maiyahan memang bukan siraman rohani satu arah saja.
Hawa dingin malam itu cukup terasa, bekas guyuran hujan masih membekas di jalanan namun tak menghalangi jamaah melingkar. Selesai munajatan, kesempatan digulirkan oleh moderator dan Mas Ulul menyabet mikropon pertama. Pemuda dari Kudus selatan ini menyatakan telah nyata tandhang hadir di taddaburan ketika pemuda-pemudi umumnya memilih pacaran di malam minggu.
Pernyataan Mas Ulul dipertegas oleh Pak Ekowi, sumbang tandhang dimaknai mau kontribusi tanpa pamrih meskipun kecil. Lalu, dengan elegan mengutip part scene film “Tokyo Drift” sebagai analogi kebalikan:
“Hanya karena paku kecil maka kuda itu jatuh. Karena kuda itu jatuh maka kurir yang menunggang turut jatuh. Karena kurir jatuh maka rahasia negara jatuh ke tangan musuh. Karena rahasia negara direbut musuh maka negara kalah perang kemudian hancur.”
Jamaah yang baru pertama kali melingkar pun tak segan urun pemikiran. Muhammad Ashror dari Prambatan Lor contohnya, mengambil pendekatan sosial ekonomi, antara si kaya dan si miskin akan terjalin baik jika si kaya membuka kesempatan kerja dan si miskin menyambut tandhang yang giat.
Senada dengan Kang Ashror respon Kang Ali Fathkan tawarkan rekontruksi logika. Menurutnya, malas belum tentu buruk, bagi orang ekonomi tinggi justru sebisa mungkin malas, apa alasannya? Karena malasnya tersebut bisa jadi rejeki bagi orang lain sebab si kaya tadi mengkaryakan orang lain. Namun jangan malas ketika posisi ekonomi sebaliknya.
Narasi jamaah tentang tandhang bukan argumen belaka, namun endapan laku jamaah sehari-hari. Seperti Kang Fajril Huda, sebagai penggemar tanaman, baginya nandur wit-witan merupakan bentuk tandhang nyata. Dengan motto “one man one tree” ia mengajak jamaah turut sedekah oksigen. Jika masih bertanya, seberapa persen sumbangsih berbanding jumlah oksigen di planet bumi? Jamaah maiyah paham, uraian Pak Ekowi sebelumnya untuk jangan remehkan hal sekecil apapun telah menjawab.
Diskusi makin menarik tatkala Kang Ali melakukan simulasi. Salah satu dari beberapa partisipan diminta akting jadi nyamuk kemudian menggigit sebelahnya. Partisipan yang lain lagi diminta respon tandhang menepuk nyamuk tadi sesuai lingkup kemampuan yang Kang Ali analogikan yaitu skala keluarga, masyarakat sampai negara. Maksud Kang Ali adalah tandhang ada skalanya, sesuai kemampuan, jika kemampuan tandhang bisa skala luas maka lebih baik, namun jika hanya skala kecil tidak mengapa, yang penting tetap tandhang dan serius.
Menuju tengah malam suasana makin gayeng. Muatan spiritualitas, intelektualitas dan kegembiran memenuhi atmosfir tadabburan. Bergantian sajian musik diisi oleh Kongsi Band dan musikalisasi puisi oleh Urva Creato. Ditambah kedatangan Mas Aan, seorang komikus yang luas pengetahuan ilmu agama ini menyuntik pesan hikmah penuh canda. Menurut beliau, tandhang dimulai dari kesadaran khalifatullah. Dengan sifat-sifatNya yang dilekatkan pada ruh manusia saat penciptaan, menjadi “titik pancal” manusia mengejawantahkan sifat Tuhan dalam berkehidupan.
Rutinan kali ini hadir penggiat Majlis Alternatif Jepara serta penggiat Kalijagan Demak. Mas Kafi dari Jepara menyampaikan niat menyerap dan menikmati tadabburan bersama kerabat. Sedangkan penggiat kalijagan menyajikan sebuah pertunjukan kreatif yaitu “Wayang Kertas”. Pertunjukan ini menyedot perhatian jamaah meski dengan properti sederhana, kain layar dibentangkan pada rangkaian besi pipa dan sebuah lampu sorot ke layar namun mampu hipnotis jamaah. Kang Hajir dengan suara beratnya menyampaikan tentang kesejatian hidup, keseimbangan antara akal dan hati dilakonkan melalui kisah penyatuan badan dengan kepala hewan orong-orong menggunakan serbuk kayu jati oleh Sunan Kalijaga.
Berikutnya Kang Lukman mengurai tema. Dalam khasanah jawa ada isitilah nyambut gawe, artinya manusia jawa menyadari segala kemampuan hakikatnya dipinjami oleh Tuhan, sehingga yang digunakan adalah istilah nyambut. Setelah nyambut, maka harus segera nandhangi, artinya segera proses aksi. Dan saat bertindak tersebut harus ati-ati, maksudnya dalam tandhang harus menggunakan hati yang berakibat pada kebaikan. Pada akhirnya sampai ketahap koyo yaitu menyerupai, dalam konteks ini menyerupai apa yang Tuhan inginkan karena semua kembali pada Tuhan.
Memasuki penghujung acara, Muhammad Ashror kembali merespon, menurutnya upaya menjadi kekasih Allah adalah dengan tirakat yaitu kesanggupan menahan diri, kemudian riyadhoh yaitu terus mencari ridho Allah. Ada pula Mas Memet menambahkan, mengaitkan dinamika masyarakat terkini terutama di media sosial dengan sari nilai Pancasila yaitu kebersamaan dan gotong royong. Menurutnya, apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah kepekaan sosial. Dengan mengambil contoh nyata untuk bersama-sama, bergotong-royong lebih peka membantu berjalannya semak tadabburan ini baik tenaga maupun materi.
Sebelum doa penutup oleh Mas Aan Triyanto, tersaji penampilan ciamik dari Mas Takhris serta band. (Redaksi – Brian Wh)